I. Pendahuluan

Pasal 41 (3) undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa penyandang disabilitas merupakan salah satu kelompok khusus dan rentan yang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus. Rentan dimaksudkan bukan berarti lemah atau tidak berdaya, namun rentan menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia. Hampir disetiap sektor, baik ekonomi, sosial, dan budaya serta sipil dan politik, penyandang disabilitas senantiasa tertinggal dibandingkan warga Negara lainnya.

Dalam rangka mengejar ketertinggalan dan mensejajarkan diri dengan warga negara lain, upaya peningkatan kesejahteraan penyandang disabilitas harus diprioritaskan. Peningkatan kesejahteraan tidak saja dalam rangka peningkatan taraf hidup penyandang disabilitas, melainkan juga menyangkut peningkatan harkat dan martabat penyandang disabilitas agar keberadaanya sebagai warga Negara dapat mandiri, kontributif, dan inklusif.

Berbicara kesejahteraan, maka kita berbicara mengenai kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan dirinya. Mengacu pada pasal 17 Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas cakupan kesejahteraan sosial, terdiri dari perlindungan sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, habilitas dan rehabilitasi.

Cakupan tentang kesejateraan sosial dalam Undang-Undang disabilitas diatas bisa dijadikan rujukan. Namun demikian, beberapa referensi lain juga penting untuk dirujuk, salah satunya terkait konsep perlindungan sosial dan cakupannya. Salah satu pertanyaan yang patut diajukan, apakah perlindungan sosial berbeda dengan jaminan sosial? Lalu bagaimana dengan keberadaan bantuan sosial, bantuan hukum, dan lainnya, apakah keberadaannya juga termasuk perlindungan sosial?

Di tataran akademis, konsep perlidungan sosial mengalami perkembangan yang cukup pesat. Perilndungan sosial bukan sekedar diartikan sebagai ‘bantuan sosial’ sebagai penangananan jangka pendek, sebaliknya menurut Guhan (1994) perlindungan sosial memiliki kompenan yang lebih luas, mencakup perlindungan, pencegahan dan promotif[6]. Perhatian terhadap perlindungan sosial yang membatasi pada soal mitigasi kemiskinan jangka pendek tentu patut dikritisi terlebih dalam rangka membentuk sistem intervensi lewat kebijakan yang memakan tidak sedikit anggaran.

Dengan berorientasi pada pembangunan yang lebih merata, perlindungan sosial harus menjadi sistem  dalam sebuah kebijakan jangka panjang. Lebih jauh, konsep perlindungan sosial dengan kebijakan jangka panjang akan mengalihkan perhatian kepada pada penyebab-penyebab terjadinya kemiskinan, dan berusaha untuk mengatasi batasan-batasan sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi oleh penduduk rentan.

Mengacu konsep perlindungan sosial diatas, cakupan perlindungan sosial seharusnya melingkupi pula jaminan sosial (jangka panjang), tidak hanya bantuan sosial (jangka pendek). Konsep ini tentunya berbeda dengan cakupan konsep kesejahteraan sosial pada Undang-Undang Nomor  8 Tahun 2016 yang membedakan konsep perlindungan sosial dengan jaminan sosial.

Tulisan ini hendak mengembalikan ‘fitrah’ perlindungan sosial pada kerangka konsep yang terkini dengan cakupan yang luas namun tetap menjadi bagian dalam ranah kesejateraan sosial. Salah satu usulan pokoknya adalah konsep ‘perlindungan sosial terintegrasi’ yang mana didalamnya mencakup kerentanan sosial dan ekonomi serta interaksinya, menyediakan rangkaian intervensi yang komprehensif berdasarkan kebutuhan dan konteks yang terukur, serta memfasilitasi pendekatan multisektor dan koordinasi untuk menangani berbagai macam kerentanan dan memaksimalkan efektivitas serta dampaknya terhadap berbagai sektor. Pendekatan multisektor mengidentifikasi dan memaksimalkan hubungan antara perlindungan sosial dengan luaran sektoralnya, seperti pendidikan, kesehatan, nutrisi, air dan sanitasi, dan lain sebagainya. Konsep perlindungan ini pada akhirnya memiliki cakupan tidak hanya mengenai jaminan dan bantuan sosial, melainkan termasuk juga upaya pemberdayaan dan segala sesuatu terkait dengan persoalan kerentanan dan memaksimalkan efektifitas, seperti melakukan advokasi sosial dan bantuan hukum. Advokasi sosial merupakan upaya memberikan pendampingan, perlindungan dan pembelaan terhadap seseorang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang dilanggar haknya. Sedangkan bantuan hukum merupakan upaya memberikan pendampingan, perlindungan, dan pembelaan di ranah hukum (peradilan).

Terkait pemberian bantuan sosial, Pasal 42 Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia  secara tegas menyebutkan bahwa penyandang disabilitas berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya Negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.

Di tingkat global, Indonesia termasuk Negara yang sangat tertinggal dalam memberikan bantuan sosial.  Tabel 1 dibawah memperlihatkan skema anggaran bantuan sosial bagi penyandang disabilitas di beberapa Negara yang disandingan dengan GDP (Gross Domestic Product/ Produk Domestik Bruto) di setiap negara. Dari data terlihat anggaran pemerintah Indonesia terkait bantuan sosial bagi penyandang disabilitas masih sangat minim dibanding negara-negara lain.

Tabel 2, memperlihatkan perbandingan empat Negara Afrika Selatan, India, Ethiopia dan Indonesia terkait pemberian bantuan sosial kepada rumah tangga/keluara yang memiliki penyandang disabilitas berat pada empat katagori strata ekonomi mulai dari miskin sampai  kaya. Lebih lanjut, pada tabel juga memperlihatkan bahwa di rumah tangga miskin, penyandang diabilitas berat di Indonesia berada di urutan terbawah, yakni 10% dari keseluruhan penyandang disabilitas berat.

Di Negara maju, bantuan sosial tunai bagi penyandang disabilitas merupakan bagian dari alokasi anggaran perlindungan sosial yang terus meningkat, namun tidak di Indonesia.

Meskipun pemerintah Indonesia masih sangat kecil dalam pemberian perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas, pada aspek regulasi Indonesia patut diapresiasi. Dua peraturan setingkat undang-undang menaruh perhatian pada upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang disabilitas, yakni:

  1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (ICRPD). Ratifikasi ICRPD merupakan bentuk komitmen Indonesia dalam masyarakat global untuk melakukan upaya dalam merealisasikan penghapusan segala bentuk diskriminasi dan menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam setiap aspek kehidupan;
  2. Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas (pasal 17) secara rinci mengamanatkan kepada penyelenggara Negara atau pemerintah untuk melaksanakan kesejahteraan sosial bagi penyandang disabilitas.

Berbicara perlindungan sosial, kita tentu tidak terhindar dari bagaimana penyandang disabilitas memberdayakan secara mandiri  dalam pengelolaan rehabilitasi yang mencakup semua sektor. Pasal 42 Undang-undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi manusia, Pasal 21, 91 dan 92 Undang-Undang  Nomor 8 Tahun 2016 secara khsusus memberikan penekanan penting proses habilitasi dan rehabilitasi di semua sektor: kesehatan, pelatihan/pendidikan, pekerjaan dan sosial.

Habilitasi dan rehabilitasi dengan pengelolaan bersumberdaya manusia seharusnya menjadi inti dari proses transisi sebelum penyandang disabilitas kembali ke masyarakat. Di banyak Negara, rehabilitasi bersumberdaya manusia sudah berkembang sangat jauh. Di Thailand dengan program independent leaving dimana masyarakat memiliki dan mengelola secara bersama pusat disabilitas yang melibatkan semua pihak: penyandang disabilitas, masyarakat, dan pemerintah. Pengelolaan rehabilitasi bersumberdaya masyarakat juga membantu memberikan perspektif dan  pemahaman kepada masyarakat (diluar disabilitas) tentang disabilitas melalui proses yang inklusif. Dan yang tidak kalah penting, peran pemerintah di rehabilitasi bersumberdaya masyarakat harus diwujudkan lewat  pemberian layanan yang harus tersedia, seperti layanan kesehatan, konsultasi, terapi, pemberian keterampilan, dan lain sebagainya.

Singkatnya, rehabilitasi bersumberdaya masyarakat harus mulai diprioritaskan dibandingkan sistem rehabilitasi berbasis institusi yang dikelola pemerintah karena pengelolaannya melibatkan semua pihak, memberikan sensitifitas dan pemahaman kepada warga masyarakat, inklusif, dan multi-sector. Pengalaman sudah membuktikan sejumlah persoalan terkait rehabilitasi berbasis institusi yang tidak aspiratif dan inklusif bagi penyandang disabilitas, diantaranya terkait kekerasan dan indikasi pelanggaran hak asasi manusia.

Rehabilitasi berbasis institusi yang telah dipraktikan di Indonesia, perlu dikaji ulang terkait prinsip-prinisp dasar yang seharusnya berbasiskan harkat dan martabat manusia. Prinisp-prinsip dasar yang menjadi asas tersebut, jika diimplementasikan pada tataran kebijakan dan program akan menjadikan penyandang disabilitas sebagai subyek; dan asas ini ini harus secara tersurat dituangkan dalam regulasi termausk standard operasional Procedures yang di dalamnya mencakup mekanisme monitoring dan pengawasan yang melibatkan masyarakat.

Pembahasan yang secara khusus harus diatur dalam rangka perlindungan sosial dan peningkatan kesejahteraan bagi penyandang disabilitas adalah perlindungan penyandang disabilitas di wilayah bencana. Sebagaimana isi Pasal 41 Undang-Undang 39 tahun 1999 bahwa penyandang disabilitas adalah kelompok rentan yang harus mendapatkan ekmudahaan dan perlakuan khsuus dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang secara khusus menyoroti perlindungan dari bencana, seharuanya pemerintah melihat kembali bagaimana selama ini penanganan bencana yang inklusif dimana penyandang disabilitas sebagai warga Negara di wilayah beresiko tetap menjadi bagian dari kebijakan penanganan bencana.

Hal yang tidak kalah penting dalam rangka peningkatan kesejahteraan sosial penyandang disabilitas baik pada kebijakan perlindungan sosial dan habilitasi dan rehabilitasi adalah mengenal dan memahami keragaman penyandang disabilitas dan penyandang disabilitas pada situasi khusus. Setiap regulasi yang disusun seharusnya bisa diterima semua ragam disabilitas dan mereka pada situasi khusus dan memiliki resiko tinggi. Penyandang disabilitas pada situasi khusus dimaksud diantaranya anak, perempuan, lansia, disabilitas berat, dan disabilitas pekerja buruh migran. Keberadaan mereka perlu penanganan lebih khusus dengan affirmative action mengingat studi dan hasil penelitian memperlihatkan adanya multi-diskriminasi dan kerentanan yang berlipat.

Terakhir, masih rendahnya kesejateraan penyandang disabilitas di Indonesia, sangat mungkin terjadi karena belum tersedianya peraturan pelaksana setingkat peraturan pemerintah sebagai operasionalisasi peraturan perundang-undangan. Penyusunan Peraturan pemerintah yang secara khusus mengatur terkait perlindungan sosial dan habilitasi dan rehabilitasi bagi penyandang disabilitas merupakan mandat Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Peraturan pemerintah dimaksud bersifat operasional yang memuat aspek perlindungan sosial dan habilitas dan rehabilitasi dengan berbagai penjelasan-penjelasan yang lebih detail untuk mengatur semua penyedia layanan (pemerintah) untuk memberikan asistensi kepada penyandang disabilitas di ruang-ruang publik.

Disabilitas dalam Angka  

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UI melansir data bahwa 12,15% penduduk Indonesia adalah penyandang disabilitas dari total penduduk (250 juta). Lebih rincinya, 10,29% dari total disabilitas adalah penyandang disabilitas sedang, dan hanya 1,87 penyandang disabilitas berat. Dari keseluruhan presentase penyandang disabilitas tersebut, 53,37% adalah perempuan, dan 46,63% adalah penyandang disabilitas laki-laki.

Di sektor pendidikan, hanya 45,74% penyandang disabilitas tidak pernah atau tidak tamat sekolah dasar, dan  87,31% berpendidikan sekolah dasar keatas.  Sementara itu di lapangan pekerjaan, Penduduk usia Kerja Disabilitas Nasional berjumlah 21.930.529 orang, dengan rincian 11.224.673 (51,18%) termasuk angkatan kerja, 10.810.451 (96,31%) bekerja, dan 414.222 (3,69%) penganggur terbuka.

Terkait angka kemiskinan, Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemensos di 2011 mengungkapkan   jumlah penyandang disabilitas miskin 2002-2009. Berikut data dimaksud:

Tahun Penyandang disabilitas miskin
2002 1.673.119
2004 1.847.692
2006 2.364.000
2008 1.163.508
2009 1.541.942

Data kemiskinan penyandang disabilitas terbaru sampai saat ini belum dilansir pemerintah, hal ini bisa mengindikasikan minimnya perhatian pemerintah terhadap pendataan disabilitas di Indonesia. Selain itu, pendataan disabilitas memiliki sejumlah tantangan dimana setiap instansi dan lembaga mempublikasikan data masing-masing sesuai kepentingannya (kesehatan, pendidikan, dan sosial).

II. Tantangan Pemenuhan dan Perlindungan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas Sejumlah tantangan terkait pemenuhan dan perlindungan kesejateraan sosial bagi penyandang disabilitas terindentifikasi dari hasil studi yang menaruh perhatian pada perlindungan sosial dan kesejahteraan sosial penyandang disabilitas. Berbagai data dan fakta yang dihimpun mengindikasikan adanya kesengajaan (by commission) dan pengabaian (by omission) dalam rangka pemenuhan dan perlindungan kesejateraan sosial bagi penyandang disabilitas. Berikut data dan fakta terkait tantangan terkait pemenuhan dan perlindungan penyandang disabilitas  yang dibagi dalam tiga cluster: regulasi, program/kebijakan dan dampak program/kebijakan bagi  penyandang disabilitas.

Aspek regulasi

Ketiadaan prinsip menunjung tinggi harkat dan martabat manusia dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial menjadi salah satu catatan penting ditingkat regulasi dimana kondisi tersebut menyimbolkan kurangnya senstifitas terhadap aspek kemanusiaan. Dampaknya, kepada program dan kebijakan terutama terkait panti rehabilitasi yang diantaranya membuahkan berbagai peristwa kekerasan.  Namun demikian, disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas menjadi harapan publik mengingat pendekatan yang digunakan undang-undang ini berbasis hak. Point penting kesejahteraan sosial ada pasal 90 sampai 95 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas adalah, bahwa kesejahteraan Sosial mencakup rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, pemberdayaan sosial dan Jaminan sosial. Selain itu, kesejahteraan sosial diselenggarakan baik pemerintah maupun daerah. Undang-undnag disabilitas ini tentu saja menjadi basis disusunnya peraturan pemerintah yang mengatur perlindungan sosial dan peningkatan kesejahteraan penyandnag disabilitas.

Aspek program/kebijakan dan dampak program/kebijakan terhadap penyandang disabilitas

a. Rehabilitasi sosial

Rehabilitasi sosial merupakan program pemerintah dikoordinir Kementrian Sosial. Terdapat dua program rehabilitasi yang dikelola, yakni berbasis institusi dan non-institusi. Di program  Rehabilitasi Sosial berbasis non-institusi disediakan: (a) Unit Pelayanan Sosial Keliling (UPSK), dan Loka Bina Karya (LBK), Pengelolaan program LBK diserahkan kepada pemerintah  kabupaten/kota, dan saat ini terdapat 204 LBK. Untuk Rehabilitasi Sosial Berbasis Institusi terkonsentrasi pada 6 Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang dikelola Kemensos berupa panti melayani ragam disabilitas: netra, rungu wicara, tubuh dan eks penyakit kronis, mental retardasi, mental dan eks psikotik (lihat gambar 1). Enam UPT konsentrasi pada sejauh mana pendidikan vokasi yang menjadi materi dalam panti bisa mempersiapkan penghuni panti untuk memasuki dunia kerja. Selain rehabilitasi yang dikelola Kementerian sosial, terdapat juga 22 pusat/lembaga rehabilitasi yang dikelola Pemerintah Daerah, dan 321 panti yang diselenggarakan oleh masyarakat. Kementerian Sosial juga memiliki Rehabilitasi Berbasis Keluarga/Masyarakat (RBM) yang bertujuan untuk mengembangkan program disabilitas yang inklusif di tengah masyarakat.

Adapun sejumlah persoalan yang muncul terkait rehabilitasi sosial, diantaranya:

1. Prinsip dasar, mekansime pengaduan, akses keadilan, dan partisipasi:

Persoalan rehabilitasi sosial dimulai pada regulais/aturan main yang secara tertulis tidak menggunakan prinsip-prinsip dasar peningkatan harkat dan martabat manusia. Ketiadaan penggunaan prinsip dasar dimaksud tercermin dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Dengan Pendekatan Profesi Pekerjaan Sosial. Akibanya, sejumlah panti terindikasi terjadinya degradasi harkat dan martabat kemanusiaan yang dialami penghuni panti baik yang dikeloa Kemensos, pemerintah daerah maupun swasta/yayasan. Sejumlah media massa memberitakan meninggalnya para penghuni Panti Rehabilitasi Sosial penyandang disabilitas psikososial di Panti Laras; Human Rights Watch dalam laporannya terkait penyandang disabilitas psikososial menyebutkan, hampir di semua panti kesehatan mental terjadi penahanan semena-mena, pengurungan/pengisolasian, pemaksaan pembotakan rambut, pemerkosaan penghuni panti perempuan, dan tindak penganiayaan dan penyiksaan yang dilakukan petugas. Alih-alih memulihkan warga, panti justru  menjadi ladang semakin terpuruknya kondisi penghuni panti.

Sampai saat ini, para penghuni panti tidak mendapatkan akses keadilan. Mereka tidak bisa mengadukan perlakuan buruk yang mereka alami di panti. Mekanisme pelaporan ditutup rapat oleh pihak panti dimana pihak luar tidak diperkenankan secara bebas melihat dan melaporkan kondisi panti.

Dalam penentuan jenis penanganan (treatment), seringkali penyandang disabilitas tidak diberikan kesempatan untuk memilih atau menolak jenis penanganan yang diinginkan. Selama ini  terjadi unsur pemaksaan dimana partisipasi penyandang disabilitas tidak diperhitungkan. Pemaksaan bisa dilakukan pihak keluarga mapun pihak panti.

2. Pendekatan:

Program vokasional yang inklusi tidak menjadi prioritas bagi rehabilitasi akibatnya timbul kendala untuk meningkatkan akses ke lapangan kerja. Dampaknya, program terkait akses ke lapangan kerja tidak  dapat diukur karena desain program tidak berorientasi pada serapan ke pasar kerja, dan bimbingan lanjut juga tidak memonitor hal tersebut. Ini artinya, belum ada kesesuaian jenis vokasi dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Ditambah lagi, kebijakan kuota lapangan kerja bagi penyandang disabilitas belum menjadi ‘alat’ yang efektif untuk akses ke lapangan kerja bagi penyandang disabilitas.

3. Sarana dan prasarana:

  • Ketidakseriusan pemerintah dalam pengelolaan panti rehabilitasi sosial. Selain terjadinya over capacity di hampir seluruh panti, sistem perekrutan penghuni panti juga tidak diterapkan secara ketat. Ada kesan bahwa hal terpentingnya mencapai target kuantitatif.
  • Desain anggaran dikembangkan tidak berdasarkan program atau prioritas kebutuhan. Bersamaan dengan itu, kapasitas penyandang disabilitas yang beragam pada saat masuk ke panti, tidak menjadi pertimbangan karena keterbatasan jenis pendidikan vokasi di panti rehabilitasi.
  • Dari aspek sumber daya manusia, jumlah SDM yang bekerja sangat terbatas, dan mereka yang bekerja belum cukup memiliki kompetensi dalam hal rehabilitasi sosial dengan pendekatan
  • Panti belum memiliki prosedur operasional yang standar (Standard Operartion Procedure/SOP) mulai dari tahap asesmen sampai penyandang disabilitas siap memasuki lapangan kerja.
  • Layanan kesehatan yang dapat di akses baik di panti rehabilitasi institusi maupun non institusi termasuk RBM. Beberapa kasus yang mengemuka banyak penghuni yang harus sakit dan tidka tertangani hanya karena tidaka ada koordinasi yang jelas antara penyelenggara panti rehabilitasi yang dikelola Kementrian Sosial dengan penyedia layanan kesehatan yang seharusnya dikoordniasi dengan Kementrian Kesehatan. Beberapa panti rehabilitasi memang menyediakan kamar khusus untuk memeriksa kesehatan dan memiliki jadwal kunjungan dokter untuk memeriksa penghuni panti. Namun, sebagian besar panti rehabilitasi baik yang berbasis institusi dan non –institusi justru mengalami kesulitan untuk menjangkau layanan kesehatan.
  • Tidak adanya proses monitoring dan evaluasi terhadap panti rehabilitasi baik yang dikeloa pemerintah maupun swasta dengan melibatkan masyarakat. Ketiadaan ini menyebabkan sejumlah persoalan krusial diantaranya terkait kontrol atas kelayakan infrastruktur panti rehabilitasi dan pola atau sistem penanganan panti yang tidak dikelola berbasiskan hak asasi manusia. Untuk panti non-pemerintah yang dikelola swasta/yayasan, longarnya pemberian ijin mendirikan panti serta ketidadaan sistem didalamnya menyebabkan panti rehabilitasi menjadi ‘sarang maut’ dimana para penghuninya tinggal menunggu lonceng kematian.
  • Untuk  rehabilitasi berbasis masyarakat, persoalan yang mengemuka adalah kurangnya dukungan pemerintah dalam mengembangkan RBM. Meskipun berbasis masyarakat terdapat beberapa hal yang harus melibatkan pemerintah, diantaranya terkait layanan kesehatan  dan pentingnya tenaga pekerja sosial/pendamping yang bisa di gaji oleh pemerintah.

b. Pemberdayaan Sosial

Kementerian sosial melalui Direktorat Pemberdayaan Masyarakat memiliki program “Pengurangan Resiko Bencana (PRB)  inklusi penyandang disabilitas dalam penanggulangan bencana”. Penyandang disabilitas menjadi salah satu target yang perlu mendapatkan pelindungan saat terjadinya bencana. Program-program pengarusutamaan disabilitas diantaranya pelatihan dan penguatan kepada pendamping, keluarga, dan masyarakat terkait disabilitas, kemudahan akses saat bencana/tanggap darurat, dan peringatan dini di pra bencana.

Persoalan yang selama ini banyak terjadi terkait penanganan bencana bagi penyandang disabilitas, diantaranya  penanganan bagi ‘disabilitas baru’ pasca bencana, implementasi peraturan penanggulangan bencana, belum maksimalnya  pemberdayaan kelompok disabilitas, dan belum adanya standard operasional procedure (SOP) penanganan bencana disabilitas.

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 14 Tahun 2014 Tentang Penanganan, Perlindungan, dan Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Penanggulangan Bencana.

c. Perlindungan sosial dan jaminan sosial

Berbicara perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas di Indonesia, serta merta kita berbicara juga mengenai jaminan sosial mengingat skema kebijakan perlindungan sosial di Indonesia mencakup juga jaminan sosial. Keduanya diturunkan dari kerangka hukum (regulasi) perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas yang terdiri dari:

  1. Asistensi Sosial UU No. 11/2009 ttg Kesejahteraan Sosial;
  2. UU No. 13/2011 ttg Penanganan Fakir Miskin;
  3. Jaminan Sosial UU No. 40/2004 ttg SJSN UU No. 24/2011 ttg BPJS

Dari tiga kerangka hukum diatas, program dan kebijakan yang diturunkan meliputi: Asistensi Sosal Penyandang Disabilitas, Bantuan Sosial penyandang disabilitas miskin, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Pertanyaannya, bagaimana implementasi ketiga program dan kebijakan dimaksud?  Apa saja tantangan dan hambatannya terkait upaya memberikan perlindungan sosial dan jaminan sosial bagi penyandang disabilitas ketika diimplementasikan di lapangan?   Berikut penjelasannya.

Asistensi Sosial Bagi Penyandang Disabilitas Berat (ASPDB)

Program asistensi sosial bagi penyandang disabilitas berat (ASPDB) ditujukan kepada penyandang disabilitas berat, miskin, dan rentan. Estimasi jumlah penyandang disabilitas berat adalah 163.232 orang. Hingga Juni 2015, sebanyak 22.000 penyandang disabilitas berat telah memperoleh ASPDB.

Kepada mereka diberikan bantuan sosial dalam bentuk uang tunai sebesar Rp 300.000 per orang per bulan selama setahun yang penyalurannya bekerja sama dengan PT Pos Indonesia. Kriteria penerima jaminan sosial penyandang disabilitas berat adalah mereka yang memiliki disabilitas dan tidak dapat direhabilitasi kembali, tidak dapat melakukan sendiri aktivitas sehari-hari kecuali dengan bantuan orang lain, sepanjang waktu aktivitas kehidupannya sangat bergantung pada bantuan orang lain, tidak tinggal dalam panti, dan tidak mampu menghidupi diri sendiri serta berasal dari keluarga miskin.

Persoalan yang sangat menonjol dari program ASPDB adalah terkait validitas data dan terbatasnya jumlah penerima. Di lapangan, masih cukup banyak penyandang disabilitas berat yang masih belum tersasar program ini. Mereka harus masuk daftar antrian. Kesempatan untuk memperoleh program Jika ada peserta yang meninggal dunia. Persoalnnya adalah pendatan dan alokais anggaran yang terbatas. Adapun pemanfaatan uang tunai sebesar Rp. 300.000 per orang patut dikaji mengingat keberadaannya tidak jarang disalahgunakan pihak tertentu.

Jaminan sosial (BPJS)

Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mulai bergulir pada 1 Januari 2014. Khusus BPJS kesehatan merupakan transformasi program terdahulu dalam bentuk Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas/JKN) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Dalam proses bergulirnya kebijkan ini, dirasakan cukup bermanfaat bagi masyarakat. Namun tidak  bagi sebagian besar penyandang disabilitas. Sejumlah tantangan dan hambatan dialami penyandang disabilitas. Temuan di lapangan mengungkapkan, hampir seluruh penyandang disabilitas  mengutarakan persoalan BPJS yang berkutat pada soal pembatasan cakupan pembiayaan. Kebijakan jaminan sosial melalui BPJS justru memberatkan penyandang disabilitas, berbeda halnya saat jaminan sosial  menggunakan jaminan kesehatan nasional atau daerah (Jamkesmas/jamkesda) dimana pemerintah daerah ikut berperan.

Pembatasan pembiayaan BPJS terjadi hampir disemua ragam disabilitas, berikut data dan informasinya:

  • Bagi Penyandang disabilitas mental, BPJS Kesehatan hanya membiayai pengobatan untuk bipolar dan schizophrenia untuk 2 minggu;
  • Bagi seluruh penyandang disabilitas, BPJS Kesehatan tidak membiayai pengobatan khusus bagi PD;
  • Bagi seluruh penyandang disabilitas, BPJS Kesehatan tidak membiayai kebutuhan alat bantu dan transportasi menuju layanan kesehatan;
  • Bagi penyandang disabilitas netra, KIP tidak termasuk biaya materi pembelajaran dgn huruf Braille;
  • Bagi anak dengan penyandang disabilitas dan disabilitas berat, KIP tidak termasuk biaya transportasi bagi penyandang disabilitas anak.

Adapun BPJS ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas sampai saat ini kurang banyak dimanfaatkan oleh penyandang disabilitas. Minimnya penyandang disabilitas mengakses BPJS ketenagakerjaan karena sebagian besar masih belum mengetahui program dimaksud.

Berangkat dari sejumlah tantangan sebagaimana dikemukakan diatas, perlu disusun sebuah peraturan pemerintah yang progresif dan lebih komprehensif, ‘mengena’ pada sasaran yang hendak dicapai, bersumberdaya manusia (penyandang disabilitas), inklusif, partisipatif, dan menjunjung tinggi asas peningkatan harkat dan martabat manusia.  Peraturan pemerintah dimaksud mencakup: perlindungan sosial (yang didalamnya berisi jaminan sosial, bantuan sosial, pemberdayaan sosial, advokasi sosial, dan bantuan hukum), habilitasi dan rehabilitasi yang dengan ruang lingkup yang luas dan multisektor (kesehatan, pendidikan/pelatihan, ketenagakerjaan, dan sosial) dan memprioritaskan ‘bersumberdaya manusia’. Sektor-sektor yang diatur harus mempertimbangkan berbagai ketentuan lain yang sudah disusun sebelumnya untuk saling mengharmoniskan dan tidak tumpang tindih. Selain itu, sasaran peraturan pemerintah harus mencakup semua ragam disabilitas termasuk penyandang disabilitas di situasi khusus, diantaranya anak, perempuan, lansia, penyandnag disabilitas berat, dan penyandang disabilitas buruh migran.

III. Urgensi Pentingnya Pembentukan Peraturan Pemerintah Kesejateraan Sosial bagi penyandang disabilitas

Untuk  dapat terlaksananya pemenuhan dan perlindungan penyandang disabilitas sebagaimana mestinya, langkah prioritas terbaik yang harus segera dilakukan adalah dibentuknya Peraturan Pemerintah yang mengatur perlindungan  dan peningkatan kesejahateraan Penyandang Disabilitas yang mencakup: perlindungan sosial dan habilitasi dan rehabilitasi.

Program Perlindungan Sosial sangat bermanfaat:

  • Peningkatan harkat dan martabat, karena penyandang disabilitas dapat mengurangi ketergantungannya kepada orang lain;
  • Sebagai penghasilan untuk memberi kompensasi atas biaya tambahan yang diperlukan untuk mengakses sekolah, pelatihan, vokasional dan pasar tenaga kerja;
  • Memberi kompensasi kepada mereka yang tidak mampu bekerja –atau hanya dapat bekerja dengan jam terbatas—sehingga tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk menjaminkehidupan yang layak;
  • Memperkuat kedudukan sosial; karena penyandang disabilitas dapat berbagi penghasilan dengan orang lainsehingga dapat meningkatkan partisipasi di ruang publik, untuk terus mengakses perlindungan sosial informal;
  • Perekonomian yang lebih dinamis, dimana penyandang disabilitas dapat meningkatkan konsumsi yang berujung pada pertumbuhan ekonomi, dengan menggunkan penghasilannya untuk mengakses barang dan jasa;
  • Mengurangi beban keuangan keuangan keluarga dan kerabat.
  • Melalui program pemberdayaan sosial dapat meningkatan kemauan dan kemampuan, menggalian potensi dan sumber daya, menggali nilai dasar, memberikan akses dan/atau memberikan bantuan usaha. Termasuk bagi penyandang disabilitas di wilayah beresiko (bencana).

Program habilitasi dan rehabilitasi dengan cakupan luas dan multi-sektor sangat bermanfaat karena dapat digunakan sebagai sarana pendidikan dan pelatihan keterampilan hidup, sarana antara dalam mengatasi kondisi disabilitasnya, dan sarana untuk mempersiapkan penyandang disabilitas agar dapat hidup mandiri dalam masyarakat.

IV. Penutup: simpulan dan rekomendasi

Sebagai kesimpulan, policy paper ini menyatakan bahwa jika kelak dibentuk, peraturan pemerintah yang mengatur perlidnungan sosial dan peningkatan kesejahteraan ini sangat besar manfaatnya bagi penyandang disabilitas mengingat banyak hal yang bisa mewujudkan upaya perlindungan dan pemenuhan hak kesejateraan sosial bagi penyandang disabilitas .

Adapun rekomendasi policy paper ini ditujukan kepada Kementerian Sosial selaku koordinaor penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kesejateraan Sosial dan habilitasi dan rehabilitasi bagi Penyandang Disabilitas. Rekomendasi utamanya meminta Kemensos untuk memasukan point-point penting berikut ini:

  1. Mengusung prinsip-prinsip dasar yang menjunjung tinggi hak asasi manusia yang meliputi: Penghormatan atas martabat manusia dan kebebasan individu untuk menentukan pilihan demi kemandirian pribadi; Nondiskriminasi; Partisipasi aktif dalam masyarakat; Penghormatan atas perbedaan sebagai bagian dari keragaman dan kemanusiaan; Kesamaan kesempatan dan inklusi pada semua bidang; Kemudahan akses; Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan; Penghargaan atas kapasitas penyandang disabilitas anak untuk bertumbuh kembang dan hak-hak mereka atas perlindungan identitas. Prinsip-prinisp dasar atau asaz ini meskipun sudah tercantum dalam Undnag-Undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandnag Disabilitas, sebaiknya dicantumkan dalam peraturan pemerintah untulk lebih menegaskan pada prinsip-prinsip atau  azaz tertentu.
  2. Pelibatan masyarakat, pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan/program perlindungan sosial dan habilitasi dan rehabilitasi.
  3. Terkait Perlindungan sosial 
    • Melakukan pendataan yang valid terkait identifikasi disabilitas untuk dapat menjangkau sasaran program perlindungan sosial dan jaminan sosial yang sifatnya inklusif maupun khusus (ASPDB);
    • Menambah alokasi anggaran program bantuan sosial/ASPDB sehingga semua penyandang disabilitas berat dapat tercover;
    • Memonitoring dan evaluasi program ASPDB terkait pemanfaatan anggaran agar sesuai sasaran.
    • BPJS kesehatan bisa mengcover biaya alat bantu, obat-obatan terkait kedisabilitasan, dan biaya transportasi/mobilitas menuju layanan kesehatan.
    • Pelibatan pemerintah daerah dalam perlindungan dan jaminan sosial diantaranya dengan membuat skema Jaminan sosial kesehatan di daerah dimana penyandang disabilitas bisa memperoleh kemudahan akses kesehatan. Skema ini bisa menjadi alternative skema nasional BPJS yang kenyataannya membatasi pembiayaan kesehatan dan sarana pendukung lainnya (biaya transportasi) penyandang disabilitas.
  4. Untuk Habilitasi dan Rehabilitasi
  • Mengutamakan rehabilitasi bersumberdaya masyarakat
  • Untuk habilitasi dan rehabilitasiMencakup multisektor (kesehatan, pelatihan/pendidikan, ketenagakerjaan, dan sosial

Untuk rehabilitasi berbasis institusi :

  • Memberikan perspektif pendekatan inklusi para staf di rehabilitasi (panti);
  • Menyusun program panti rehabilitasi yang berkoneksi dengan dunia kerja;
  • Memberikan kesempatan yang besar kepada penyandang disabilitas untuk menentukan jenis penanganan apa yang diinginkan. Termasuk jika tidak ingin masuk rehabilitasi (panti);
  • Melengkapinya dengan saran dan prasarana pendukung yang layak: standard operational procedure, dan kualitas SDM; 
  • Menyusun mekansime pelaporan dan pengaduan atas apa yang terjadi di dalam panti rehabilitasi baik panti berbasis institusi maupun non-institusi;
  • Memaksimalkan kegiatan monitoring dan evaluasi (menyusun indikator dan akreditasi untuk panti-panti non institusi/swasta/Yayasan) dengan melibatkan masyarakat. Artinya masyarakat memiliki akses untuk dapat melihat kondisi panti sebagai bagian dari perbaikan;
  • Menyediakan sistem layanan kesehatan yang terintegrasi dan dapat dijangkau oleh penghuni panti baik panti berbasis institusi maupun non-institusi termasuk RBM;
  • Pemerintah memberi dukungan program Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) diantaranya akses layanan kesehatan dan biaya transportasi menuju layanan rujukan.
  1. Menyiapkan perangkat bagi program pengendalian resiko bencana yang inklusif dengan penyandang disabilitas. Program dimaksud mencakup penguatan dan pelatihan individu, keluarga, dan caregivers penyandang disabilitas.
  2. Menyusun peraturan dengan mempertimbangkan secara penuh ragam disabilitas dan penyandang disabilitas di situasi khsusus dan beresiko tinggi (anak, perempuan, lansia, penyandang disabilitas berat, dan penyandang disabilitas buruh migran)
  3. Usulan outline peraturan pemerintah yang disusun memuat hal-hal sebagai berikut:
  • Ketentuan Umum
  • Perlindungan sosial
  • prinsip dan azas khusus;
  • jaminan sosial;
  • bantuan sosial;
  • pemberdayaan sosial;
  • advokasi sosial;
  • bantuan hukum
  • Habilitas dan rehabilitasi
    • Prinsip dan asaz khusus;
    • Kesehatan;
    • Pendidikan dan pelatihan;
    • (perekrutan ) Ketengakerjaan;
    • Sosial;
  • Disablitas dan penanganan bencana;
  • Penyandang disabilitas di situasi khusus
  • Anak;
  • Perempuan;
  • Lansia;
  • Penyandang disabilitas berat;
  • Penyandang disabilitas buruh migrant;
  • Penutup
  • Aturan peralihan
  • Penjelasan-Penjelasan

 

 

 

Related Posts