Sekarang ini, siapa sih yang tidak mengenal antibiotika (AB)?! Sejak ditemukannya hampir 90 tahun yang lalu, antibotika diketahui telah menyelamatkan jutaan manusia di dunia. AB memiliki kontribusi yang signifikan dalam menekan angka kesakitan dan kematian. Kemampuannya dalam mengatasi maupun mencegah penyakit infeksi menyebabkan penggunaannya mengalami peningkatan yang luar biasa. Sayangnya, “ketenaran dan kehebatan”nya ini menyebabkan penggunaan yang tidak seharusnya atau tidak tepat. Seperti temuan di lapangan, kalangan masyarakat dengan mudah mendapatkan AB secara bebas, layaknya membeli “kacang goreng” di pasar, untuk kondisi atau penyakit yang tidak memerlukannya tanpa resep dokter. Hal ini memunculkan masalah baru, yang dikenal sebagai resistensi bakteri terhadap AB (R-AB), yang merupakan satu bagian besar sendiri dari Anti Microbial Resistance.
Resistensi bakteri terhadap AB adalah kemampuan alamiah dari bakteri untuk bertahan dan melawan aksi dari AB (berdasarkan kamus kedokteran Dorland’s, 2012), dengan kata lain AB yang digunakan sudah tidak mempan lagi atau bakterinya yang semakin “jago.” Selain permasalahan dari sisi masyarakat, terdapat pula beberapa penyebab terkait R-AB ini, diantaranya lemahnya penegakan aturan/hukum tentang penjualan dan pembelian AB secara bebas baik di Apotek atau di luar apotek. Pada beberapa kasus terdapat kekurangrasionalan/kekurangtepatan dalam peresepan AB, serta tentunya faktor-faktor internal dan eksternal lain khususnya yang terkait dengan Bakteri/AB itu sendiri. Pada tulisan kali ini, penulis akan mencoba memaparkan tentang penyebab resistensi bakteri dari sisi masyarakat.
Pada dewasa ini di kalangan masyarakat, tidak jarang ditemukan orang yang sakit gigi dengan mudahnya menjustifikasi dirinya butuh Amoxicillin 500mg dan langsung membelinya di apotek atau bahkan di “warung-warung” sembako terdekat. Menurut mereka Amoxicillin adalah obat untuk meredakan radang (inflamasi) pada kesakitannya. Mungkiiin, dalam efek terapeutisnya si Amox ini dapat membantu menghilangkan sakit gigi dengan menekan pertumbuhan bakteri di mulut. Namun tidak bisa dikatakan bahwa Amox adalah pereda radang, karena sebagaimana yang kita ketahui dalam dunia medis, amoxicillin diketahui merupakan AB, bukan anti-inflamasi. Dalam dunia kedokteran gigi, telah diketahui bahwa tidak semua permasalahan pada gigi dan mulut disebabkan oleh infeksi bakteri, sehingga banyak juga kasus sakit gigi (seperti dalam cerita diatas) yang tidak dapat disembuhkan oleh si amox ini. Bagian terburuk dari model contoh di atas adalah masyarakat cenderung untuk meminum amoxicillin SESUKA HATI, misal langsung meminum 2 tablet Amoxicillin 500 mg jika merasa sangat sakit dan segera menghentikannya bila sudah merasa “enakan” (nyerinya reda). Sayangnya terkait hal di atas, penulis belum dapat menunjukkan dalam bentuk data valid dan real berdasarkan penelitian di masyarakat.
Selain kasus sakit gigi di atas, pada masyarakat juga sering ditemui gangguan saluran pencernaan (diare) yang secara tidak rasional ditangani dengan menggunakan Tetrasiklin atau Kotrimoksazol. Memang benar bahwa mereka adalah AB dalam rentetan pilihan yang dapat digunakan untuk mengobati diare, tapi dikhususkan pada diare dengan sebab tertentu (seperti oleh sebab infeksi bakteri), bukan diare sembarangan, karena banyak kejadian daire disebabkan oleh infeksi virus atau sebab lain non-infeksi.
Gambaran kasus di atas menunjukkan masih kurang terkendalinya penggunaan AB di Indonesia. Kondisi ini sangat jelas dapat memicu terjadinya resistensi bakteri terhadap jenis-jenis AB tertentu. Sebab ketika AB digunakan tidak sampai “selesai” (masa terapi yang seharusnya) maka dapat membuat bakteri tersebut “pingsan” dan dapat bangun kembali dengan PERISAI yang lebih hebat sehingga dapat membuat AB tidak dapat bekerja dengan baik lagi.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa terdapat banyak faktor yang berpengaruh secara kompleks dalam kejadian resistensi ini, tidak hanya tentang “kacang goreng” tadi. Anti-Microbial Resistance secara umum sebenarnya telah menjadi masalah global, misalnya di Amerika Serikat, menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2017, setiap tahunnya terdapat sedikitnya dua juta orang terinfeksi oleh bakteri yang telah resisten terhadap AB dan setidaknya 23.000 orang meninggal setiap tahun sebagai akibat langsung dari infeksi ini. Infeksi oleh bakteri yang resisten terhadap AB akan membahayakan nyawa pasien oleh karenanya infeksi menjadi sulit diobati dan berpengaruh pada biaya pelayanan kesehatan. Biaya kesehatan akan menjadi lebih tinggi karena adanya kesakitan yang lebih lama dan masa rawat di rumah sakit menjadi lebih lama.
Permasalahan di atas tentu saja menuntut perhatian yang lebih dari para tenaga medis/kesehatan (dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, bidan, ahli kesehatan masyarakat, dan semua pihak terkait) untuk dapat melakukan sesuatu guna menekan angka kejadian resistensi ini. Peran yang dimaksud dapat dilakukan secara mandiri di lembaga kerja kita masing-masing atau saling bahu-membahu bersama ALPHA-I. Langkah kecil ini dapat dimulai dengan mengedukasi masyarakat tentang penggunaan AB yang baik dan tepat, sampai pada program-program besar bersama pemerintah dalam bentuk penelitian dan atau program intervensi kepada masyarakat dengan tujuan akhirnya adalah peningkatan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia.
Penulis: Safarudin, S.Si., M.Farm., M.Epid., Apt
Sumber foto: Kompas
Related Posts
PRESS RELEASE
Press Release Seminar Nasional ALPHA-I 2021
ALPHA-I Peduli. Respon Bencana Nusa Tenggara Timur
ALPHA-I Peduli yang diwakili ALPHA-I member, Stephanie Perdana Ayu Lawalu menyerahkan donasi korban bencana alam…
ALPHA-I Peduli. Respon Bencana Kalimantan Selatan
ALPHA-I Peduli yang diwakili ALPHA-I member, Dina Rafidiyah menyerahkan donasi bagi korban banjir di Kalimantan…
Adaptasi Kebiasaan Baru Dunia Pendidikan Di Masa Pandemi: Apakah Anak, Orangtua, dan Guru Gembira?
Asosiasi Alumni Program Beasiswa Amerika-Indonesia (ALPHA-I) turut menyemarakkan Hari Anak Nasional 2020 dengan menyelenggarakan Webinar…