Beberapa
hari terakhir ini kita disuguhi banyak berita tentang protes masyarakat di
berbagai daerah terhadap sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru
(PPDB). Banyak yang merasa dirugikan dengan peraturan yang mengutamakan calon
siswa yang tinggal di sekitar sekolah, yang diistilahkan dengan di dalam zona
serta membatasi kuota calon siswa di luar zona. Terutama bagi calon siswa yang
memiliki nilai ujian yang cukup tinggi tapi tidak diterima di sekolah
‘unggulan’ atau ‘favorit’ karena terbentur lokasi rumah dan terbatasnya kuota
siswa dari jalur prestasi atau perpindahan orang tua. Di sisi lain, ada juga
pihak yang merasa diuntungkan atau merasakan manfaat positif kebijakan ini.
Terutama bagi calon siswa yang kebetulan tinggal di sekitar sekolah-sekolah
yang selama ini dianggap unggulan, karena mereka tetap dapat diterima di
sekolah tersebut meskipun capaian akademis mereka biasa saja.

Dalam
konteks sistem zonasi sekolah ini, istilah ‘adil’ memang menjadi problematis
dengan adanya benturan antara competitiveness
(daya saing) dan accessibility
(keterjangkauan) dalam layanan pendidikan. Jika menggunakan sudut pandang yang
mengedepankan daya saing, sistem pendidikan dianggap adil jika penerimaan siswa
merit-based atau didasarkan seleksi
dan prestasi. Rujukannya adalah capaian akademis para calon siswa di jenjang
pendidikan sebelumnya, yang tergambar dari nilai kelulusan atau nilai hasil
ujian. Jadi sekolah “unggulan” adalah untuk siswa yang “unggulan” juga, dengan
dasar pemikiran bahwa mereka berhak mendapatkan tempat belajar sesuai kemampuan
dan prestasinya.

Sementara
dari sudut pandang yang mengedepankan accessibility,
penyelenggaraan pendidikan dianggap adil jika setiap anak dapat mengakses
pendidikan berkualitas, tanpa harus mensyaratkan capaian-capaian prestasi dalam
bentuk apapun. Dalam perspektif ini, sistem zonasi dianggap cukup memfasilitasi
kebutuhan ini.

Hal
tersebut terkonfirmasi dalam siaran pers Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) Nomor: 198/Sipres/A5.3/HM/VI/2019 yang menggarisbawahi bahwa
“Zonasi Bukan Hanya Untuk PPDB Saja”. Menteri menegaskan bahwa pelaksanaan
sistem ini adalah sebagai upaya untuk mewujudkan pemerataan akses pendidikan
bagi seluruh warga. Beliau menyatakan, “Karena pada
dasarnya anak bangsa memiliki hak yang sama. Karena itu, tidak boleh ada
diskriminasi, hak ekslusif, kompetisi yang berlebihan untuk mendapatkan layanan
pemerintah. Sekolah negeri itu memproduksi layanan publik. Cirinya harus non excludable, non rivarly, dan non
discrimination
“. Oleh karena itu, dalam sistem zonasi yang menjadi
acuan utama penerimaan peserta didik adalah lokasi tempat tinggal. Berdasarkan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 tahun 2018, yang kemudian
diubah dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 tahun 2019,
ketentuan dalam menerima peserta didik, dari daya tampung setiap sekolah harus
diisi minimal 80% jalur zonasi, maksimal 15% jalur prestasi dan maksimal 5%
jalur perpindahan tugas orang tua/wali.

Sebagaimana
terjadi setiap kali sistem baru diterapkan, pelaksanaan sistem zonasi ini
menemui banyak kendala dan menuai berbagai reaksi di masyarakat. Terlepas dari
berbagai pro dan kontra terhadap zonasi sekolah, tulisan ini tidak akan
mengajak pembaca bersikap dikotomis atau berpandangan binary – setuju/tidak setuju, dilanjutkan/dihentikan – terhadap
kebijakan ini. Sebagai wacana alternatif, ada baiknya kita perlu
memperluas jangkauan pandangan kita terhadap isu ini dan menganalisanya dari
berbagai sisi. Jika diibaratkan lensa kamera kita perlu ‘zoom out’, untuk melihat gambaran yang lebih besar tentang
infrastruktur sistem pendidikan kita, sehingga terlihat posisi kebijakan
tentang zonasi ini dalam kaitannya dengan berbagai komponen kebijakan
pendidikan lainnya. Jadi kita tidak hanya melihatnya sebagai mekanisme PPDB,
tapi juga sebagai bagian dari sistem pendidikan yang lebih menyeluruh dan
komprehensif yang memang kompleks.

Jika
melihat berbagai sistem pendidikan yang lebih luas secara global, sistem zonasi
ini sudah banyak diterapkan di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Kanada,
Jepang dan Australia. Perlu dicatat sistem ini diterapkan dalam konteks public education atau sekolah negeri
yang dikelola negara/pemerintah, karena untuk sekolah swasta umumnya ada
kekhususan dalam menerapkan layanan pendidikannya, misalnya sekolah berbasis
agama atau selective school yang
mempunyai ‘keunggulan’ dalam bidang tertentu seperti science, olah raga, musik,
seni, atau lingkungan. Dalam tulisan ini disajikan informasi tentang
pelaksanaan sistem zonasi di Australia, khususnya di negara bagian Victoria.
Sekali lagi, pembahasan ini untuk memberikan gambaran bagaimana sistem ini
berjalan dengan keterkaitannya yang kompleks dengan berbagai komponen kebijakan
pendidikan secara menyeluruh.

Sistem Zonasi Akan Meminimalisir Persoalan Pendidikan Kita

Ada
beberapa persoalan sistem pendidikan kita yang dapat diselesaikan melalui
sistem zonasi. Pertama, kesenjangan
dalam layanan antar satuan pendidikan/sekolah. Sudah begitu lama kita terbiasa
dengan adanya sekolah ‘unggulan/favorit’ yang dikenal sebagai pencetak anak
berprestasi tinggi. Agar siswa dapat diterima di sekolah tersebut, siswa harus
menunjukkan prestasinya, baik dengan seleksi ataupun nilai ujian. Mereka inilah
yang dianggap sebagai “the cream of the
crop
” atau bibit-bibit pilihan yang diharapkan berkembang menjadi
manusia-manusia hebat.

Di
sisi lain, ada banyak sekali sekolah ‘non-unggulan’ dan bahkan ada label
sekolah ‘buangan’ yang biasa menampung anak-anak yang tidak dapat diterima di
sekolah unggulan tersebut. Bertahun-tahun pemerintah berusaha dengan berbagai
perubahan kebijakan dan program pendidikan untuk menghilangkan atau setidaknya
meminimalisir hirarki dalam layanan pendidikan ini. Sudah sangat jelas amanat
pendidikan nasional bahwa, pendidikan harus dapat diakses oleh semua lapisan
anak bangsa, dan idealnya semua sekolah adalah sekolah yang baik dan memenuhi
berbagai standar pelayanan pendidikan yang ditetapkan oleh Badan Standar
Nasional Pendidikan (BNSP).

Memang
label unggulan atau favorit ini juga tidak dapat sama sekali dihilangkan,
bahkan di negara yang menerapkan zonasi sejak lama seperti di Australia. Ada
beberapa sekolah negeri yang dianggap unggulan karena sekolah tersebut banyak
meluluskan siswa dengan capaian akademik yang bagus dan selanjutnya diterima di
universitas terkemuka. Selain itu juga ada sekolah yang menjadi favorit karena
memiliki program unggulan yang mengasah keterampilan tertentu seperti program
kepemimpinan, olah raga, atau musik.

Ketika
sistem zonasi ini diterapkan, tak jarang para orang tua berusaha menyewa atau
membeli rumah di sekitar sekolah yang dituju 1-2 tahun sebelum mendaftar
sekolah. Sebagai ‘efek samping’ harga sewa atau beli rumah di sekitar sekolah
favorit ini jadi melonjak. Selain itu juga ada semacam ‘kebijakan lokal’
tambahan dari pihak sekolah, seperti ketika mendaftar harus menunjukkan bukti
tinggal lebih dari 12 bulan, misalnya dengan dokumen sewa rumah. Jika masa
tinggalnya kurang dari 12 bulan harus menunjukkan dokumen bukti pembelian
rumah. Kebijakan lokal ini sangat kasuistik karena secara umum aturan
penerimaan sekolah lanjutan adalah tidak boleh menolak anak dalam zonanya. Jika
kapasitasnya masih memungkinkan baru boleh menerima siswa dari luar zona dengan
kebijakan lokal masing-masing sekolah.

Ada
yang menerapkan radius jarak rumah-sekolah, ada yang berdasar keberlanjutan
kurikulum misalnya berkaitan dengan bahasa asing yang diajarkan di sekolah
sebelumnya. Sebagai contoh, jika di sekolah dasarnya belajar bahasa jepang
sementara di neighborhood school
(sekolah terdekat) tidak mengajarkan bahasa tersebut, mereka dapat mendaftar ke
sekolah di luar zona selama sekolah yang dituju masih ada kapasitasnya. Pada
prinsipnya, pelaksanaan zonasi harus memastikan setiap anak mendapatkan tempat
di sekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya.

Dalam
upaya pemerataan kualitas pendidikan ini, walaupun bukan satu-satunya solusi
terbaik, sistem zonasi cukup berpotensi untuk memperkecil kesenjangan layanan
pendidikan dengan memperkecil cakupan operasional pendidikan. Seperti
dinyatakan oleh Mendikbud Muhadjir Effendy, sistem ini bertujuan untuk
membenahi berbagai standar nasional pendidikan, “Mulai dari kurikulum,
sebaran guru, sebaran peserta didik, kemudian kualitas sarana-prasarana.
Semuanya nanti akan ditangani berbasis zonasi.”

Memang
tidak mudah untuk melakukan perubahan ini karena tidak dapat dilakukan secara
parsial. Pelaksanaan zonasi dalam PPDB harus dibarengi dengan kebijakan
berkaitan dengan ketersediaan dan pemerataan kualitas fasilitas dan sumber daya
manusia pendidikan termasuk guru dan tenaga pendidikan, serta meninjau kembali
sistem penilaian pendidikan yang masih mengedepankan high stake test (ujian yang menentukan).

Faktor
terkait strategi penilaian pendidikan adalah persoalan besar kedua dalam sistem
pendidikan terkait sistem system zonasi ini. Salah satu keberatan utama di
masyarakat adalah ketika anak yang meraih prestasi tinggi dalam ujian atau
nilai kelulusannya tidak dapat masuk ke sekolah favorit karena kendala lokasi
tempat tinggal. Hal ini tidak terjadi di negara lain termasuk di Victoria,
Australia, karena mereka tidak menerapkan high
stake test
sebagai kriteria kelulusan jenjang pendidikan dasar dan sekolah
menengah pertama (junior secondary school).

Peserta
didik di Australia bahkan tidak mengenal naik/tidak naik kelas karena semua
anak terus melanjutkan proses belajar sesuai kelompok umur mereka. Ketika
selesai kelas 6 semua anak otomatis lulus dan berhak melanjutkan ke sekolah
lanjutan. Test di setiap mata pelajaran mulai dikenal di jenjang secondary school atau sekolah lanjutan,
tapi tidak menentukan naik/tidak naik kelasnya siswa. Apalagi di Australia
umumnya sekolah lanjutan negeri mencakup kelas 7 sampai 12, jadi tidak ada
ujian kelulusan di kelas 9 seperti di Indonesia ketika anak mengalami transisi
dari SMP ke SMA atau SMK.

Memang
ada beberapa selective school yang
hanya menyelenggarakan pendidikan dari kelas 9 sampai 12, yang mencakup middle school dan high school. Calon siswa yang ingin masuk sekolah ini harus
melewati proses seleksi, yang biasanya kombinasi antara capaian akademik dengan
keunggulan bidang tertentu. Tetapi, penyelenggaraan selective school ini sangat terbatas secara jumlah dan
keberadaannya tidak berpengaruh terhadap pelayanan public education atau sekolah regular.

Dapat
dikatakan bahwa sistem zonasi akan selalu problematik ketika wacana utama
tentang penilaian pendidikan masih terpaku dengan sistem ujian atau test dalam
segala bentuknya, apalagi yang hasilnya menjadi penentu untuk kelanjutan
pendidikan selanjutnya. Untuk dapat meninjau ulang wacana tentang penilaian
pendidikan ini, ada hal mendasar yang perlu dipertanyakan yaitu, berkaitan
dengan cara pandang tentang proses dan keberhasilan belajar yang selama
dianggap harus terukur dan terstandar melalui ujian. Bukan berarti pandangan
ini salah, tapi mungkin kita perlu mengekplorasi alternatif lain sehingga tidak
terjebak dalam kesempitan pemikiran bahwa keberhasilan belajar hanya tergambar
dari nilai ujian yang tinggi.

Ketiga, kurangnya perhatian terhadap
perlindungan dan keselamatan anak. Tema ini jarang disentuh dalam diskusi
publik berkaitan dengan pendidikan, karena yang paling sering dibahas adalah
UN, kurikulum dan sistem zonasi utk PPDB. Sebenarnya penyelenggaraan layanan
pendidikan juga harus memperhatikan aspek perlindungan dan keselatamatan anak.
Perlindungan yang dimaksud, tidak hanya bersifat fisik atau jasmani saja, tapi
juga secara psikologis dan spiritual, termasuk terbebasnya anak dari berbagai
tekanan yang membuat mereka tidak bahagia atau tidak nyaman, yang sering
dikaitkan dengan wellbeing. Penentuan
zonasi berdasar lokasi tempat tinggal ini sebenarnya dapat mengatasi isu-isu
tersebut karena dengan jarak yang dekat diharapkan waktu tempuh perjalanan ke
sekolah lebih pendek dan meminimalisir berbagai masalah yang dapat timbul
seperti kelelahan, kemacetan, kecelakaan, termasuk resiko terlambat sekolah.

Seperti
di Victoria Australia, penentuan zona neighborhood
school
juga memperhatikan kemudahan akses dan perjalanan rumah ke sekolah,
termasuk ketersediaan transportasi umum. Dengan demikian, anak tidak banyak
menghabiskan waktu di perjalanan. Kondisi 
dan peta persekolahan di Indonesia sangatlah kompleks jika dibandingkan
antara area perkotaan padat di kota besar di Jawa dengan daerah pedesaan di
pedalaman Kalimantan dimana lokasi sekolah terdekatpun berjarak beberapa
kilometer dengan medan yang sulit ditempuh. Jadi dari sisi lokasi dan
perjalanan dari rumah ke sekolah ini saja, diperlukan penyesuaian aturan di
masing-masing daerah.

Dari berbagai poin di atas, walaupun belum mencakup segala hal berkaitan dengan sistem zonasi, dapat kita lihat bahwa isu ini bukan berdiri sendiri, tapi erat kaitannya dengan isu lain dalam pendidikan yang semuanya perlu dipertimbangkan untuk mengoptimalkan manfaat positifnya. Tapi terlepas dari segala kompleksitas isu ini, dimulainya penerapan sistem ini adalah langkah yang perlu diapresiasi, meskipun harus dibarengi dengan kesediaan untuk melakukan perbaikan diberbagai sisi yang lain. Tidak ada yang mudah dalam sebuah proses transisi, tapi dengan melihat gambaran besarnya dari kebijakan ini, kita dapat berkontribusi untuk memberikan masukan agar sistem pendidikan kita dapat berjalan lebih baik lagi. (Penulis: Ririn Yuniasih – Praktisi Pendidikan)

Post a comment

Your email address will not be published.

Related Posts