Sebagaimana edisi Pemilihan Presiden (Pilpres)
2014, Pilpres 17 April 2019 lalu kembali diwarnai kemelut quick count
(hitung cepat). Agar tak
mudah diombang-ambingkan oleh pro-kontra atas hasil suatu hitung cepat di masa
mendatang, masyarakat penting memahami dimensi politik dari hitung cepat dan
meresponnya dengan perspektif warga negara. Hanya dengan begitu, maka sejumlah
poin kriteria atau indikator guna mengevaluasi kredibilitas suatu hitung cepat
bisa berguna.

Dari
kacamata akademik metode hitung cepat terbukti menghasilkan temuan yang kredibel
jika dilakukan sesuai kaidah ilmiah. Sejak penggunaannya pertama kali pada
Pilpres 2004, metode statistik ini dipromosikan oleh National Democratic
Institute for International Affairs (NDI) sebagai alat kontrol terhadap potensi
kecurangan pemilu. Hingga Pilpres 2019 lalu, metode ilmiah yang bisa
dipertanggungjawabkan ini terbukti memiliki tingkat akurasi tinggi.

Perspektif Citizens
atas Hitung cepat

Meski
demikian, hitung cepat senantiasa mengundang respon negatif dari para pihak
yang diprediksi kalah. Dalam Pilpres 17 April lalu, tak kurang Prabowo sendiri
menyampaikan, “Saya tegaskan di sini, kepada rakyat Indonesia bahwa ada upaya
dari lembaga-lembaga survei tertentu yang kita ketahui sudah bekerja untuk satu
pihak untuk menggiring opini seolah-olah kita kalah,” (Kompas.com, 17/4/2019). Selang sehari,
Koordinator Pelaporan Tim Advokasi dan Hukum BPN Prabowo-Sandi Djamaluddin
Koedoeboen menegaskan, “Kami menduga mereka pasti ada orderan untuk kemudian
membuat quick count seperti ini” (Kompas.com, 18/4/2019).

Berbagai
statemen ini penting dipahami masyarakat sebagai bagian dari kontestasi Pilpres
2019. Artinya, agar bisa lepas dari pemihakan subyektif pada siapapun pasangan
kandidat yang dipilih, pembacaan atas respon elit politik terhadap hitung cepat
memerlukan kacamata politik.

Pertama,
walau kokoh secara metodologis dan karenanya bisa menghasilkan prediksi yang akurat,
hitung cepat lekat dengan pertentangan narasi. “Counting is political”,
demikian ujar Deborah Stone (Policy
Paradox, The Art of Decision Making,
1988)
. Proses produksi dan angka
yang dihasilkan sukar dilepaskan dari cerita dan framing (pengerangkaan)
yang mendukung suatu kepentingan politik. Atau dalam bahasa Patricia Strach
dalam Hiding
Politics in Plain Sight (2016),

“cara orang membicarakan suatu isu” sebenarnya merefleksikan seruan “cara orang
menyikapi isu tersebut”.

Apa
dampak dari “cara membicarakan” metode dan hitung cepat dengan framing hitung
cepat “pesanan”? Dengan menggunakannya sebagai ilustrasi, cara pembacaan
seperti ini bisa dimaknai sebagai strategi menjaga semangat para relawan satu
kubu pasangan kandidat agar tetap tinggi dalam mengawal penghitungan suara di
berbagai TPS. Tetapi, bobot yang sama juga bisa diberikan pada analisis yang
mengartikan bahwa pernyataan tersebut merupakan strategi penggiringan opini guna
melemahkan integritas para lembaga pelaksana hitung cepat, dan selanjutnya
meruntuhkan legitimasi hitung cepat. Tiadanya hitung cepat, setidaknya,
menghilangkan satu rujukan alternatif yang bisa menjadi alat cek ketika terjadi
kecurangan.

Kedua,
supaya dapat memahami dan menimbang berbagai dimensi politik yang melekat pada hitung
cepat tersebut, warga masyarakat perlu menempatkan dirinya sebagai warga negara
(citizens). Bila tidak, tanpa sadar kita sebagai warga negara akan
berpikir, bertindak, dan berperilaku layaknya bagian dari konstestan pilpres, buzzer
politik, atau anggota tim sukses. Larut dalam nalar kontestan, kita beresiko
“lupa daratan”, lupa posisi: bahwa siapapun kandidat yang terpilih nanti,
adalah hak kita untuk membuat perhitungan. Perspektif warga negara meneguhkan
hak menagih janji, mengkritik, melayangkan protes, hingga menghukum dengan
tidak memilih sosok presiden-wakil presiden terpilih berikut para partai
politik pengusungnya di pemilu selanjutnya.

Lensa sebagai warga negara ini pada
gilirannya memfasilitasi bekerjanya daya kritis (critical
thinking)
kita. Daya kritis membuat orang bisa lepas dari kungkungan
patronase informasi dan pemaknaan atas informasi yang selama berhulu pada para
elit politik, pemuka agama, atau tokoh masyarakat. Tatkala mampu berpikir
kritis, kita bisa terbuka untuk menimbang seksama, misalnya, antara rilis hitung cepatsuatu lembaga survei,
pernyataan elit politik, informasi yang bersebaran di media sosial, dengan
hasil uji publik yang independen atas data dan metode.

Pemahaman
bahwa hitung cepat dapat dipolitisasi dan bahwa kita sebagai warga negara perlu
sadar posisi, kritis, agar tidak hanyut dalam politisasi di atas sangat
diperlukan dalam menagih akuntabilitas hitung cepat. Tanpa itu, tantangannya
menjadi lebih sulit. Pasalnya, hitung cepat secara tak terhindarkan mengandung ketimpangan
pengetahuan (knowledge gap). Semakin canggih olah data dan analisis
suatu riset politik termasuk hitung cepat, maka makin jauh jaraknya dengan
kemampuan khalayak publik.

Warga
negara, yang disebut Stoker (2006) sebagai
para amatir dalam dunia politik
, memiliki kapasitas yang tidak selalu
memadai untuk memahami dunia politik, termasuk aspek metodologis riset-riset
politik semacam hitung cepat, survey, serta analisis big data. Risiko
ketimpangan pengetahuan ini sangat serius. Secara kasat mata, publik dapat
dengan mudah dibuat bingung oleh misalnya, adu klaim dan sanggahan menang atau
tidak menang yang bersumber dari hasil hitung cepat. Selain itu jarak pengetahuan inilah yang berisiko dieksploitasi
elit politik kontestan pemilu.Tapi yang lebih fundamental, gap pengetahuan
menyulitkan warga negara menagih akuntabilitas dari hitung cepat. 

Kriteria Evaluasi Hitung cepat

Lantas,
jika polemik kembali berulang, kriteria apa yang bisa digunakan masyarakat
untuk menilai “abal-abal” tidaknya suatu hitung cepat?

Sebagai
deteksi awal, sependapat dengan Dewan Etis Persepi Hamdi Muluk, pertama,
masyarakat penting mengecek kapasitas lembaga survei dari sisi kualifikasi
akademik penelitinya dan pengalamannya melaksanakan hitung cepat. Semakin rutin
dan konsisten melaksanakan survei dan hitung cepat maka makin meningkat pula
akumulasi pengetahuan dan keahlian suatu lembaga survei. Keberadaan sosok-sosok
peneliti dengan kualifikasi akademik yang mumpuni dari sisi ilmu statistik,
ilmu politik dan ilmu sosial yang relevan bisa menjadi satu indikator kapasitas
riset suatu lembaga survei.

Kedua,
masyarakat bisa menilai sejauh mana iklim kelembagaan (governance) dari
penyelenggaraan hitung cepat. Setidaknya, ada dua hal pokok yang patut diperhatikan.
Satu, derajat independensi dalam hubungannya dengan negara dan politik
partisan; dua, komitmennya dalam menegakkan kode etik, iklim kompetisi
yang sehat, dan fasilitasi pengembangan kompetensi profesional sebagai lembaga
survei. Di Indonesia, selain telah dibingkai oleh peraturan perundang-undangan,
eksistensi lembaga survei diwadahi oleh salah satunya Perhimpunan Survei Opini
Publik (Persepi). Tahun 2014 lalu, lembaga ini tegas mengaudit dua lembaga
survei yakni Jaringan Suara Indonesia (JSI) dan Pusat Kajian dan Pembangunan
Strategis (Puskaptis)‎, dengan
keputusan akhir berupa adanya pelanggaran kode etik dan penjatuhan sanksi
berupa penghapusan keanggotaan. Di masa depan, manakala asosiasi terbukti
sekadar menjadi corong politik negara atau partai tertentu, atau berubah
menjadi “kartel” yang menguasai pasar survei politik, maka di saat itulah,
kredibilitas hitung cepat hilang lantaran berakar pada iklim tatakelola yang
buruh (bad governance).

Mengenali
gejala tatakelola yang buruk, kartel survei atau bukti awal adanya “hitung
cepat orderan” tentu tak semudah membalik telapak tangan. Tetapi, ada tidaknya
keterbukaan bagi audit data dan metode oleh pihak lain yang independen bisa
menjadi penanda kredibel tidaknya hasil hitung cepat dan lembaga pelaksananya. Ilmu
pengetahuan memang tak hanya soal keterbukaan, ujar Victoria Stodden, professor
statistik di Columbia University, Amerika Serikat. Namun, melalui artikelnya “Trust Your Science? Open Your Data and Code”di bulletin Asosiasi Masyarakat
Statistik Amerika, AmstatsNews edisi Juli
2011, Ia menegaskan bahwa keterbukaan memungkinkan pihak lain melakukan
reproduksi untuk menguji suatu data berikut tahapan metode risetnya.

Suatu
hitung cepat “pesanan” akan dengan mudah dikenali manakala audit atas data dan
metode mengungkap adanya pelanggaran atas berbagai kaidah etik dan metodologis.
Prinsip reproducibility gagal terpenuhi jika “verifikasi atas hasil yang
diproduksi dari proses olah data dan analisis statistik yang sama terhadap data
awal (suatu hitung cepat—penulis)”tidak
menghasilkan temuan yang sama
(Wuttke, 2018). Contoh yang baik misalnya,
meski dalam konteks riset kuantitatif yang lebih umum, ditunjukkan oleh
Profesor Ward Berenschot dari Leiden University dalam publikasinya perihal
klientelisme politik di Indonesia (2018). Dalam karyanya, ia menyertakan informasi
akses data, informasi mengenai koding data, serta perintah dalam rumusan
kode-kode program statistik yang digunakan untuk analisis. Yang menarik, data
dan rumusan kode analisis statistik tersebut tersedia dalam program Stata dan
SPSS—dua program yang umum digunakan peneliti sosial. Ini memungkinkan
peneliti lain untuk mengakses dan menjalankan kode-kode Stata/SPSS,
dan
memeriksa apakah klaim tingkat signifikansi statistik tertentu memang demikian
adanya.

Implikasi
dari prinsip keterbukaan dan uji publik ini sederhana tapi fundamental.
Manakala rilis hitung cepat atau
sanggahan terhadapnya hanya mengumbar klaim, tuduhan dan hujatan namun menolak
ketika data dan metode risetnya diuji, kita patut waspada terhadap indikasi
manipulasi. Karena itu, dalam merespon suatu hitung cepat, survei,
atau analisis big data, ekspresi keraguan kita sebagai warga tak cukup hanya
marah atau memobilisasi hujatan melalui hashtag
di media sosial.

Lantaran tak semua warga negara ahli statistik, maka dalam konteks
merespon hitung cepat atau
riset dengan metode kuantitatif lainnya, masyarakat bisa merujuk hasil
pengujian oleh elemen-elemen masyarakat lain yang lebih kompeten seperti
universitas, lembaga riset, atau pakar independen. Ibarat tidak puas dengan
diagnosa seorang dokter, kita dapat merujuk pada “second opinion” dari dokter lainnya. Semakin banyak yang menguji,
semakin teliti analisis yang dihasilkan karena adanya proses pengecekan
berulang.

Hikmah Pembelajaran

Jauh
hari Joe Soss (1999) mengingatkan betapa pembelajaran
politik (political learning) dari
implementasi suatu kebijakan publik akan membentuk sikap dan perilaku
partisipasi politik warga negara
. Pemilu, dalam konteks ini, bisa kita
pahami sebagai pelaksanaan kebijakan terkait kontestasi dan partisipasi politik
yang diatur dengan peraturan perundang-undangan berikut aturan pelaksanaan
turunannya.

Kita
tentu tidak ingin cara-cara tak elok yang mewarnai politiknya pilpres justru
mendominasi pembelajaran politik dari Pilpres, lantas melekat kuat dalam
kesadaran, untuk kemudian menjadi langgam sikap dan perilaku warga dalam
menjalankan partisipasi politik. Sebaliknya, harapan kita adalah bahwa pilpres
dan secara khusus polemik hitung cepat akan mewariskan pengalaman dan kesadaran
tentang pentingnya berpikir, bersikap dan bertindak kritis dalam memahami
kontestasi dan partisipasi politik.

Post a comment

Your email address will not be published.

Related Posts