Ubi societas ibi
ius. Ungkapan latin ini berarti di mana
ada masyarakat di situ ada hukum. Ungkapan tersebut menggambarkan bahwa hukum
mutlak hadir di tengah-tengah masyarakat. Dalam sebuah masyarakat modern
seperti banyak negara praktikkan sekarang, kekuasaan untuk membuat dan
menegakkan hukum dilakukan oleh pihak berwenang yang berbeda. Institusi utama
untuk membuat hukum umumnya berada di kekuasaan legislatif. Kekuasaan yudikatif
atau kehakiman umumnya mempunyai peran untuk menegakkan hukum yang telah dibuat
kekuasaan legislatif. Produk hukum buatan badan legislatif dapat berupa
konstitusi maupun undang-undang. Konstitusi biasanya merupakan hukum tertinggi
di mana undang-undang dan produk hukum lainnya harus sesuai atau tidak
bertentangan dengan konstitusi.
Suatu
undang-undang yang telah disahkan keberadaannya, ditegakkan implementasinya
oleh kekuasaan kehakiman atau pengadilan yang terdiri dari para hakim sebagai
operator utamanya. Pada beberapa situasi tertentu apabila terdapat suatu
tindakan yang belum diatur oleh undang-undang, hakim melalui putusannya dapat
membuat hukum tentang tindakan tersebut (judge
made law). Praktik tersebut lazim disebut sebagai preseden yang umumnya
diterapkan di negara yang menganut sistem common
law. Singkatnya, pengadilan melalui para hakim mempunyai peran untuk
menerapkan hukum di tengah-tengah masyarakat.
Oleh
karena itu, hakim terikat oleh produk-produk hukum seperti konstitusi,
undang-undang atau preseden dalam menjalankan tugasnya. Kalimat-kalimat yang
termuat di produk-produk hukum tersebut adalah referensi bagi hakim dalam
menjalankan tugasnya menerapkan hukum. Seorang
filsuf hukum Lon L Fuller dalam sebuah tulisannya yang sangat terkenal berjudul
The Case of The Speluncean Explorer mengatakan
bahwa pengadilan mempunyai kewajiban menegakkan hukum yang tertulis dan
menginterpretasikan hukum tertulis tersebut sesuai dengan arti harfiahnya. “The obligation of the judiciary to enforce
faithfully the written law, and to interpret that law in accordance with its
plain meaning” (Fuller, 1949: 17).
Mengapa
amat penting bagi hakim untuk menerapkan hukum secara tekstual? Pertama, dengan
melakukan hal tersebut berarti hakim menegakkan hukum dan membuatnya berfungsi
serta berguna. Kedua, hal tersebut dapat menciptakan kepastian hukum,
konsistensi, dan prediksi dalam penerapan suatu hukum.
Di
sistem pemerintahan yang menerapkan pemisahan kekuasaan, badan legislatif
sebagai pemegang kekuasaan untuk membentuk hukum tidak dapat menegakkan hukum
yang telah dibuatnya. Kekuasaan untuk menerapkan dan menegakkan produk hukum
utamanya dijalankan oleh kekuasaan kehakiman melalui putusan para hakim. Dengan
menyandarkan putusannya pada hukum tertulis yang telah dibuat dan disahkan berarti
hakim memfungsikan hukum tertulis tersebut sebagai instrumen untuk menciptakan
keteraturan dalam masyarakat. Sebaliknya, bila hakim tidak mendasarkan
putusannya pada hukum tertulis yang telah dibuat dan disahkan oleh kekuasaan
legislatif dan eksekutif, maka hal tersebut membuat hukum tertulis itu tidak
berfungsi. Apabila hal ini terjadi maka amatlah disayangkan mengingat proses
pembuatan suatu hukum tertulis tidaklah sederhana karena membutuhkan banyak sumber
daya.
Hukum
diharapkan menjadi alat untuk menciptakan keteraturan dan ketertiban dalam
kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu, apabila hakim dalam membuat putusan
mendasarkan pada hukum tertulis dapat menciptakan kejelasan dalam masyarakat
tindakan-tindakan apa yang sesuai atau berlawanan dengan hukum. Seumpama ada
dua tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh para pelaku yang berbeda latar
belakang sosialnya. Seorang pelaku miskin sementara pelaku lainnya kaya.
Terhadap tindakan para pelaku ini hakim memutuskan tanpa pandang bulu atau
tanpa melihat latar belakang sosialnya.
Hakim
membuat keputusan yang sama terhadap keduanya berdasarkan hukum tertulis yang
mengatur tentang tindakan pembunuhan. Pada poin ini hakim telah membuat
keputusan yang mengedepankan kepastian dalam penegakan hukum dengan mengabaikan
latar belakang sosial para pelaku kejahatan. Hal ini pada tingkatan lebih
lanjut dapat membawa kepada konsistensi dalam penerapan atau penegakan hukum di
masyarakat. Pada akhirnya apabila konsistensi dalam penegakan hukum ini terus dijaga dapat membuat anggota
masyarakat memprediksi tindakan mereka sendiri apakah termasuk melawan hukum
atau tidak. Pada kondisi ini tujuan hukum sebagai sarana untuk menciptakan
ketertiban dan keteraturan sosial tercapai.
Namun
demikian, hidup bermasyarakat tidaklah sesederhana itu. Pada kenyataannya
banyak muncul kasus-kasus yang rumit untuk diselesaikan oleh hakim. Ambil
sebuah contoh, andaikata di suatu masyarakat terdapat hukum tertulis yang
menyatakan “Barang siapa yang dengan sengaja dan terencana menghilangkan nyawa
orang lain diberikan sanksi berupa hukuman mati”. Sutu hari, di masyarakat yang
memberlakukan hukum tersebut ada suatu peristiwa di mana terdapat perahu yang
hampir karam saat sedang berlayar di tengah lautan. Perahu tersebut berisi lima
orang penumpang. Untuk menyelamatkan kapal tersebut beserta isinya maka jumlah
penumpang harus dikurangi dengan membuang satu orang di tengah laut dengan
risiko penumpang yang harus dibuang tersebut tewas di tengah lautan.
Kesepakatan
pun dicapai dan undian dilaksanakan untuk menentukan siapa penumpang yang harus
dikeluarkan dari kapal dan dibuang ke tengah laut untuk menyelamatkan penumpang
lainnya. Apakah tindakan ini dapat dikatakan sebagai pembunuhan berencana
sebagaimana hukum tertulis tadi dan para pelakunya dapat dihukum mati? H.L.A
Hart mengatakan bahwa hukum mempunyai keterbatasan, kalimat-kalimat yang
termuat dalam hukum tertulis tidak selalu dapat memberikan panduan yang jelas.
Terdapat kondisi-kondisi atau kasus di mana arti harfiah suatu hukum tertulis
tidak jelas apakah dapat diterapkan atau tidak. “There will indeed be plain cases constantly recurring in similar
contexts to which general expressions are clearly applicable, but there will
also be cases where it is not clear whether they apply or not” (Hart, 2012:
126).
Bersandar
pada pendapat Hart ini maka peran hakim dalam menegakkan hukum bukanlah sekadar
corong teks-teks peraturan. Terdapat faktor-faktor lain yang harus dipertimbangkan
hakim ketika membuat putusan. Niat dasar atau tujuan pembuatan suatu hukum
tertulis, moralitas, keadilan, akal sehat, dan alasan-alasan adalah beberapa
unsur yang dapat digunakan hakim ketika membuat putusan.
Para
hakim adalah manusia-manusia yang diharapkan dapat menyelesaikan sengketa dalam
masyarakat secara tepat dan memberikan keadilan. Hakim bukan pihak yang
diharapkan melulu memberikan hukuman yang kaku sebagaimana disebutkan suatu
hukum tertulis. Putusan hakim dapat menghasilkan implikasi serius bagi para
pihak yang beperkara di pengadilan. Putusan hakim dapat membuat hak kepemilikan
terhadap suatu harta benda berpindah tangan. Putusan hakim dapat merenggut
kebebasan seseorang. Sama halnya, putusan hakim juga dapat memberikan dampak
luas bagi keseluruhan masyarakat. Sebagai contoh di Amerika Serikat pada tahun
1896 terdapat sebuah putusan tentang segregasi sosial berdasarkan warna kulit
yang dikeluarkan Mahkamah Agung Amerika Serikat.
Dalam
kasus yang terkenal bernama Plessy v.
Ferguson ini, Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan bahwa kekuasaan
pembuatan kebijakan di tingkat negara bagian yang memisahkan orang-orang di
tempat publik berdasarkan warna kulit bukanlah pelanggaran terhadap amandemen
empat belas konstitusi Amerika Serikat. Ayat pertama amandemen keempat belas
konstitusi Amerika Serikat menyatakan bahwa semua warga negara berhak
mendapatkan perlindungan yang sama di hadapan hukum. Negara-negara bagian
dilarang membuat dan menegakkan hukum yang merampas hak warga negara untuk
mendapatkan perlindungan yang sama di hadapan hukum.
Melalui
putusan di kasus Plessy v. Ferguson masyarakat Amerika Serikat
kemudian mengalami segregasi sosial di tempat-tempat publik. Penduduk Amerika
Serikat yang berkulit hitam tidak dapat bercampur dengan penduduk kulit putih
di tempat-tempat publik. Mereka dapat sama-sama mengakses fasilitas publik
namun tidak dalam ruangan yang sama. Sampai akhirnya di tahun 1954 Mahkamah
Agung Amerika Serikat melalui putusan dalam kasus Brown v Board of Education menganulir putusan terdahulu tentang
segregasi di fasilitas publik bagi penduduk Amerika Serikat. Cerita di atas
menggambarkan bagaimana dampak sosial yang terjadi dari suatu putusan hakim.
Dalam
konteks Indonesia terbaru kasus Baiq Nuril merupakan cermin dari putusan hakim
yang mengesankan hampanya keadilan dan berimplikasi serius pada perhatian
masyarakat. Baiq Nuril, seorang guru honorer di Mataram hampir saja mengalami
kenyataan pahit dalam hidupnya akibat vonis majelis hakim agung Mahkamah Agung.
Melalui putusan Nomor 574 K/Pid.Sus/2018 majelis hakim agung memvonis hukuman
enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan. Majelis
berpendapat Baiq bersalah melanggar Pasal 27 Ayat (1) Juncto Pasal 45 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Ia dinilai “Tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan melanggar
kesusilaan.”
Kasus
ini bermula ketika Baiq Nuril menyebarkan rekaman percakapan telepon antara
dirinya dengan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram yang bermuatan pelecehan seksual
kepada dirinya. Sang kepala sekolah melaporkan dirinya atas penyebaran
percakapan tersebut. Singkat cerita kasus ini bergulir di Pengadilan Negeri
Mataram. Majelis hakim pada pengadilan tersebut memvonis Baiq Nuril tidak
bersalah. Kasus tidak berhenti. Sang kepala sekolah mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung hingga akhirnya Baiq Nuril divonis bersalah.
Upaya
hukum Peninjauan Kembali kemudian diajukan oleh pihak Baiq Nuril. Sayang, upaya
itu kandas. Peninjauan Kembali pihak Baiq Nuril ditolak Mahkamah Agung. Ia
terpaksa harus menerima nasib getir dihukum enam bulan penjara dan denda Rp 500
juta subsider tiga bulan kurungan. Alih-alih mendapat keadilan karena
dilecehkan, Baiq Nuril hampir saja menjalani kehidupan di balik jeruji besi dan
membayar denda yang jumlahnya sulit dikumpulkan oleh seorang guru honorer
dengan pendapatan sangat terbatas seperti dirinya. Publik geram atas kondisi
tersebut sehingga mendesak DPR untuk mengusulkan amnesti bagi Baiq Nuril kepada
Presiden. Usaha terakhir ini berbuah manis. Tanggal 2 Agustus 2019 lalu
Presiden Joko Widodo menyerahkan langsung keputusan presiden tentang amnesti
bagi dirinya di Istana Bogor. Melalui keppres tersebut Baiq Nuril terbebas dari
jeratan hukuman yang mengancam dirinya. Keadilan tak jadi pupus dirasakannya.
Poin
1.1 angka (8) Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial
tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim menyatakan “Hakim harus memberikan
keadilan kepada semua pihak dan tidak beritikad semata-mata untuk menghukum.” Hakim
harus menyadari bahwa putusannya memiliki dampak kemanusiaan. Anthony D’Amato menyatakan
hakim bukanlah komputer atau mesin yang bekerja secara mekanis. “Difficulties
arise in statutory interpretation when a statute is viewed as a computer
program. A computer lacks human reason, human judgment, and human sensitivity.
It will literary do what the programmer wants it to do” (D’Amato, 1993: 577)
Perselisihan
yang dibawa ke hadapan pengadilan tidak selalu kasus yang sederhana. Suatu
hukum tertulis juga belum tentu dapat memberikan panduan yang jelas bagi hakim
dalam memutuskan perkara. Saat yang bersamaan hakim tidak boleh menolak perkara
dengan alasan tidak terdapat hukum yang mengatur suatu perbuatan. Para pihak
yang beperkara di pengadilan mengharapkan hakim sebagai sandaran terakhir untuk
mengakhiri perselisihan di antara mereka. Proses peradilan pun harus dijalankan
dengan efisien dan efektif. Dalam situasi seperti ini hakim sepatutnya tidak
menjadi corong undang-undang semata yang terpaku pada teks suatu hukum
tertulis.
Hakim
adalah “wakil Tuhan”. Hal tersebut berarti hakim diharapkan dapat memberikan
keadilan dalam menyelesaikan suatu perkara. Hakim harus memiliki perspektif
luas tentang hukum. Pertimbangan-pertimbangan manusiawi harus melekat dalam
pendapatnya ketika memutus perkara. Ide dalam masyarakat ketika membuat sistem
hukum dan menciptakan peran hakim di dalamnya karena masyarakat membutuhkan
keadilan. Masyarakat membutuhkan satu pihak yang dapat menyelesaikan perkara secara
tepat, adil, dan bijaksana. Masyarakat membutuhkan satu pihak yang tidak
menerapkan hukum secara mekanis namun sesuai dengan perkembangan yang terjadi di
masyarakat. Oleh sebab itu hakim sebagai aparat penegak hukum berbeda dengan
polisi, jaksa ataupun pengacara yang cenderung menerapkan hukum sesuai teks.
Seorang
hakim federal Amerika Serikat Richard Posner mengatakan ketika hakim memutuskan
perkara ia dipengaruhi oleh akal sehat dan nilai moral yang hidup di masyarakat
karena putusannya akan mempunyai dampak moral. “…in deciding a case a judge is influenced by common sense which are a
combination of practical consideration and moral or ethical that widely shared
by the people in his or her contemporary society because judge’s decision will
have moral implication.” Dengan demikian hakim sedapat mungkin tidak
terpaku pada pendekatan formalistik dalam menerapkan hukum. Hart mengatakan
kelemahan formalisme hukum adalah karena mencoba secara verbal memformulasikan
suatu perbuatan dan berlaku umum tanpa ada pilihan dalam penerapannya untuk
kasus-kasus spesifik ketika peraturan tersebut telah secara resmi berlaku. “Formalism vice consist in an attitude to
verbally formulated rules which both seeks to disguise and to minimize the need
for such choice (application of general rules to particular cases), once the
general rule has been laid down” (Hart, 2012: 129)
Fiat Justitia, ruat
cuelum satu ungkapan yang berarti keadilan
harus ditegakkan walaupun langit runtuh. Sistem hukum yang ada di masyarakat
diciptakan bukan semata-mata untuk menghadirkan kepastian hukum. Keadilan
adalah juga tujuan dibentuknya sistem hukum. Hakim sepatutnya tidak semata-mata
menerapkan hukum secara formalistik. Sebagai pihak yang diharapkan dapat
menangani perkara secara adil dan bijaksana, hakim haruslah memiliki perspektif
luas terhadap hukum.
Hakim adalah
profesi mulia yang diidamkan untuk memberi keadilan di masyarakat.