Indonesia merupakan salah satu negara yang berpotensi besar terjadi bencana alam. Terdapat kurang lebih 127 gunung berapi vulkanik aktif yang sewaktu-waktu akan Meletus dan memuntahkan laharnya. Di sisi lain, wilayah pegunungan sebagai tempat yang subur untuk bercocok tanam menjadi tempat tinggal penduduk yang tinggal di lereng-lereng. Mereka bertani dan berladang mengolah tanah dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian. Di Pulau Jawa, Lereng Gunung Merapi di Yogyakarta, merupakan pemukiman padat sejumlah penduduk. Di Sumatera Utara, lereng Gunung Sinabung juga menjadi tempat menetapnya penduduk.
Selain banyaknya gunung berapi vulkanik, wilayah Indonesia juga
dilintasi patahan yang memanjang di sepanjang Pulau Jawa dan Sumatera dan patahan
aktif yang memanjang dari timur yang disebut Patahan Matano (Matano Fault) hingga ke Barat
Patahan Palu-Koro. Jadi zona sepanjang patahan wajib diwaspadai karena potensi terjadinya
gempa yang kuat.
Wilayah di kedua patahan menjadi wilayah yang sangat rentan terjadinya gempa. Pergeseran sedimen (patahan)
bawah laut bisa berpotensi munculnya tsunami.
Di Indonesia, salah satu bencana besar terjadi di Aceh 26 Desember 2004
yang menewaskan kurang lebih 800 ribu orang. Bencana tsunami lain yang terjadi
dua tahun belakang terjadi di Kota Palu dan sekitarnya di Sulawesi tengah yang
bersekala magnitude antara 7,4-7,7 dan di
Lombok, Nusa Tenggara Barat yang berskala 7 Skala Richter.
Regulasi penanggulangan bencana
Dengan sejumlah wilayah yang sangat berpotensi terjadinya bencana
alam, Indonesia memiliki sejumlah regulasi terkait kebencanaan. Undang-Undang
No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana merupakan peraturan yang menjadi rujukan hukum
utama terkait penanggulangan bencana. Undang-undang ini menjadi rujukan atas
sejumlah program penanganan kebencanaan, seperti kesiagapan, tanggap darurat, peringatan
dini, dan rehabilitasi.
Undang-undang ini cukup memadai dari aspek hukum dan sudha
menyebutkan pentingnya perlindungan kelompok rentan. Dalam Pasal 55 ayat 2 disebutkan
dengan jelas perlindungan terhadap kelompok rentan termasuk didalamnya orang
lanjut usia.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana implementasi regulasi ini di lapangan?
Apakah ada kendala terkait penanganan orang lanjut usia pasca bencana? Tulisan ini memuat data dan informasi yang
diperoleh dari berbagai sumber termasuk laporan kunjungan tim Ragam Institut di
dua wilayah yang pernah mengalami bencana gempa dan tsunami di 2018, yakni di
Lombok, Nusa Tenggara Barat, dan di Sulawesi Tengah yang meliputi wilayah Kota
Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala.
Penanganan lansia pasca bencana di Lombok, NTB dan Sulawesi Tengah
Berdasarkan temuan, pada periode pasca bencana, lansia memiliki
kerentanan yang besar untuk didera sakit sebagai dampak dari bencana. Berdasarkan
data, dari 1.007 penyintas umum (korban), dicatat terdapat 87 lansia laki laki
dan 228 lansia perempuan yang memeriksakan dirinya (kesehatan). Dari jumlah 315
lansia tersebut, 173 orang di antaranya dilaporkan memiliki tekanan darah
tinggi, ayng berpotensi mendapatkan stroke (kompasiana, 27/12/2019). Menurut informasi,
rasa takut dan trauma, di samping pola hidup berkontribusi pada munculnya tekanan
darah tinggi (kompasiana, 27/12/2019).
Berdasarkan data di lapangan, lansia yang mengalami stroke dan juga menjadi
disabilitas fisik memiliki akses yang sangat minim untuk mengakses layanan
kesehatan. Untuk itu penting kiranya
untuk memberikan perhatian terhada lansia pasca bencana terutama akses terhadap
layanan kesehatan. Layanan jemput bola, kunjungan dari desa ke desa, dari dusun
ke dusun, dari gang ke gang, dari rumah ke rumah dan dari tenda ke tenda
merupakan pilihan terbaik yang bisa dibuat. Tanpa pendekatan layanan kesehatan door
to door, akses lansia terhadap layanan kesehatan dapat sangat minim.
Kondisi pengungsian di tenda menyebabkan lansia semakin terbatas
mobilitasnya dan sulit mendapatkan akses layanan kesehatan. Kondisi lansia yang
menjadi pengungsi di wilayah terisolir, seperti di dusun Batu Jong, desa Bilok
Petung di Kecamatan Sembalun di Lombok Timur sangat mengenaskan. Empat bulan
setelah bencana gempa Lombok, lansia di dusun tersebut masih tinggal di bawah
tenda yang terbuat dari terpal seadanya (kompasiana, 27/12/2019). Sementara
itu, akses pada layanan kesehatan semakin terbatas dengan jalanan yang turun
naik dan ketiadaan transportasi umum (kompasiana, 27/12/2019).
Jarak antara Batu Jong dengan Sembalun sebagai ibukota kecamatan
Sembalun sepanjang 42 kilometer cukup sulit dilaui karena tiadanya transportasi
umum (lihat gambar 1). Sementara itu banyak jalan berliku juga ada di sepanjang
jalan menuju Batu Jong. Berdasarkan informasi, hal ini tidak memungkinkan
lansia untuk dapat berpergian ke layanan kesehatan terdekat ataupun ke
Puskesmas di Sembalun.
Gambar 1. Peta Dusun Batu Jong – Sembalun
Sumber:
Google Maps
Selain akses fisik menuju layanan kesehatan yang menjadi persoalan,
di Lombok Timur saat ini banyak ditemui lansia dengan status sebagai kepala
keluarga perempuan. Hal ini tidak lain karena meningkatnya jumlah disabilitas
baru yang dialami keluarga, termasuk lansia laki laki. Kondisi ini menimpa ID
(inisial), seorang lansia di Lombok.
“Karena suami saya
stroke, dirinya harus bekerja lebih keras dan harus mampu menjadi penopang
ekonomi keluarga. Saat ini pun, anaknya yang perempuan terpaksa harus
meninggalkan bangku sekolahnya agar dapat merawat sang ayah”, demikian
pengakuan ID.
Lansia perempuan dengan status kepala keluarga dan harus mencari
nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarganya menjadi fenomen baru. Mereka pada
umumnya juga harus merawat lansia laki-laki dan tetap menyediakan kebutuhan
makan minum keluarganya.
Persoalan lain pasca bencana di Lombok adalah, di hampir semua desa lansia
memiliki keterbatasan terhadap hunian sementara (huntara). Saat ini, terdapat sejumlah
lansia yang tinggal di huntara yang tidak layak, tanpa ventilasi dan terbuat
dari bahan terpal panas.
Berdasarkan gambaran kondisi diatas, bisa kita garisbawahi bahwa adanya
bencana menjadikan lansia di Lombok semakin terpuruk. Berdasarkan data, sebelum
terjadi bencana lansia sudah terpinggirkan dari akses layanan kesehatan dan
ekonomi. Sebagai ilustrasi, data penduduk lansia di kabupaten Lombok Timur
adalah 12.228 orang, sementara jumlah lansia yang mendapatkan layanan kesehatan
dan ekonomi hanya 331 (BPS, 2017). Kini, pasca bencana, akses lansia pada
layanan kesehatan, sosial dan ekonomi menjadi lebih terbatas. Jarak fisik, minimnya
alat transportasi, ketiadaan pendamping menjadi persoalan terbatasnya akses
lansia pada layanan kesehatan. Yang juga tidak kalah penting adalah terbatasnya
akses informasi, termasuk informasi kebencanaan. Kondisi ini salah satunya karena
minimnya latar belakang pendidikan yang disandang para lansia.
Adapun kondisi lansia korban gempa di Sulawesi Tengah (Kota Palu, Kabupaten
Donggala, dan Kabupaten Sigi) mengalami nasib yang tidak jauh berbeda. Belum
diketahui pasti, berapa jumlah lanjut usia (lansia) yang menjadi penyintas
bencana (korban) tsunami di Sulawesi
Tengah yang terjadi Jumat 28 September 2018. Namun demikian, pemerintah pusat
cukup cepat tanggap dengan didirikannya posko rehabilitasi sosial sebagai
tempat sementara pengungsian lansia dan penyandang disabilitas. Posko ini
berdekatan dengan Balai Rehabiltasi Sosial Penyandang Disabilitas Intelektual
(BRSPDI) Nipotowe, Kota Palu (Kompas.com, 09/10/2018).
Hasil kunjungan tim Ragam Institut ke Kota Palu pada 30 Oktober 2019
menemukan beberapa isu terkait lansia di pengungsian. Tenda sebagai hunian
sementara yang disediakan oleh pemerintah pada kenyataannya tidak memadai,
seperti lingkungan di dalam tenda sangat pengap dan panas, lingkungan di luar
tenda tidak terpelihara sehingga kotor dan tidak nyaman atau tidak ramah
Lansia, toilet dan kamar mandi belum memenuhi standar minimal bagi Lansia, dan
kurang atau tidak adanya ruang terbuka umum di sekitar tenda sebagai
tempat berkumpul Lansia dan keluarganya.
Terkait upaya untuk membangun, membina dan memfasilitasi kegiatan
ekonomi mikro sebagai sumber pendapatan tambahan bagi pengungsi terlihat masih
sangat terbatas. Padahal, upaya ini sangat mungkin dilakukan karena Lansia
(terutama perempuan) banyak yang memiliki keahlian atau keterampilan untuk
menghasilkan barang dan/atau jasa yang memiliki nilai jual.
Isu kesehatan reproduksi juga mengemuka berhubungan dengan kondisi lansia
laki-laki yang masih aktif sementara lansia perempuan yang sebagian besar sudah
menopose. Perlu penanganan psikologi untuk memecahkan persoalan ini.
Isu lain yang muncul adalah penyaluran bantuan (sembako) dimana
lansia dan kelompok rentan lainnya cenderung tidak menjadi perioritas. Lansia
dan penyandang disabilitas yang tidak diperlakukan khusus tentu kalah bersaing dengan kelompok
lain non-lansia dan non-disabilitas ketika ada pembagian sembako yang tidak manageable
atau saling berebutan.
Terkait akses layanan kesehatan di pengungsian, muncul isu minimnya program
trauma healing bagi lansia. Temuan tim Ragam Institut mengungkapkan,
pemerintah masih terfokus terhadap pemulihan trauma anak-anak dibandingkan
lansia. Padahal pemulihan trauma lansia sangat berbeda (khusus) dengan
anak-anak.
Hal yang menarik dan cukup membanggakan adalah adanya beberapa inisiatif
masyarakat yang memberikan perhatian terhadap lansia korban bencana. Komunitas Peduli
Lansia (KPL) di Makassar selain memberikan perhatian terhadap trauma healing
para lansia, juga mengemas bantuan dalam bentuk paket yang terdiri kitab suci dan
kacamata baca (plus) untuk lansia (Suteng Raya,
10-2018). Paket ini diperoleh dari donasi individu dan diharapkan dari
pemberian paket ini, lansia dapat berangsur-angsur pulih dari trauma yang
dialaminya.
Gambar 2. Kunjungan Lapangan Tim Ragam Institute ke Lokasi
Pengungsian di Palu
Sumber: Ragam Institue
Sumber: Ragam Institute
Usulan Materi Kebencanaan dalam RUU Lansia
Mengkritisi apa yang sudah dilakukan pemerintah terkait penanganan kebencanaan
secara umum, patut diapresiasi. Mengingat langkah-langkah progresif dalam penanganan
bencana secara umum cukup memadai dibandingkan sebelumnya (saat pasca bencana
tsunami Aceh 2004). Regulasi yang ada, yakni Undang-Undang 24 tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana cukup layak sebagai rujukan hukum. Namun demikian, upaya
perlindungan lansia sebagai kelompok rentan terkait bencana masih belum
optimal.
Implementasi pasal 55 ayat 2 yang memberikan perlindungan terhadap kelompok
rentan nampaknya belum terlihat nyata dilakukan oleh pemerintah, baik pusat
maupun daerah. Lansia sebagai kelompok rentan belum menjadi prioritas dalam
penanganan bencana atau masih disamakan dengan korban bencana lainnya yang
non-lansia.
Tulisan ini merekomendasikan untuk memasukan materi (penanganan) kebencanaan
secara spesifik di dalam rancangan undang-undang Lansia yang baru yang saat ini
tengah disusun. Materi kebencanaan dalam rancangan undang-undang atau kelak
undang-undang lansia yang baru, akan memperkuat pengarusutamaan lansia dalam
penanganan bencana. Pengarusutamaan lansia dalam kebencanaan seharusnya juga
menyasar pada program-program perlindungan sosial yang bersifat keberlanjutan
terhadap para korban bencana agar mereka tidak jatuh ke dalam jurang kemiskinan
akibat bencana. Hal lain yang juga harus dimuat dalam RUU adalah isu gender,
perhatian terhadap lansia perempuan serta isu pemberdayaan dan perlindungan
lansia yang sebelumnya kurang tergali dalam undang-undang yang saat ini masih
berlaku, yakni Undang-Undang Nomor 13
tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia.
Terakhir, penulis berharap undang-undang lansia yang baru mengadopsi pendekatan hak asasi manusia (right based approach) yang mendorong pemangku kewajiban, yakni negara agar melaksanakan kewajibannya memenuhi dan melindungi kelompok rentan. Dalam konteks penanggulangan bencana, kewajiban dimaksud diantaranya dengan cara memberikan perlakuan khusus terhadap lansia saat situsi bencana, baik pra-bencana, saat bencana, maupun pasca-bencana.
Penulis: Yossa AP Nainggola, M.P.P- dalam buku bertajuk; LANSIA dari KALANGAN MINORITAS dan RENTAN tantangan dalam menghadapi keterbatasan.