Kali
ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) benar-benar panik dalam menekan defisit
BPJS Kesehatan. Pasalnya, dugaan membengkaknya klaim kian melebar pada tahun
ini dibandingkan dengan Rp16,5 triliun pada 2018.
Skenario
mulai dari pengurangan manfaat bagi peserta BPJS Kesehatan tampaknya belum
menunjukkan hasil yang menggembirakan. Saat ini pemerintah melalui Kemenkes
menerbitkan aturan teknis mengenai urun biaya dan selisih biaya kesehatan bagi
peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Kepanikan
tampak mulai dirasakan oleh Kemenkes dan BPJS Kesehatan dalam menghadapi
defisit yang berpotensi melebar. Kendati undang-undang sistem jaminan sosial
nasional (UU SJSN) membuka peluang adanya urun biaya, pelaksanaan urun biaya
harus berdasarkan jenis pelayanan yang menimbulkan penyalah-gunaan pelayanan.
Permenkes
No. 51/2018 telah mengatur urun biaya apabila masyarakat mendapatkan pelayanan
rawat jalan atau inap berdasarkan kelas rumah sakit dan ditetapkan maksimum nominal
untuk setiap pelayanan. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dibebaskan dari
pengenaan urun biaya ketika mendapatkan pelayanan. Namun, implementasi aturan
tersebut masih menunggu kajian jenis pelayanan kesehatan yang memungkinkan
terjadinya penyalahgunaan.
Urun
biaya memang belum diberlakukan bagi peserta JKN, khususnya untuk peserta
non-PBI. Namun, pelaksanaan urun biaya berpotensi mengurangi kunjungan
masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan. Pasalnya, mereka yang biasanya
mendapatkan pelayanan secara gratis harus bersedia membayar sebagai bentuk urun
biaya.
Disisi
lain, keberadaan JKN yang seharusnya menjadi angin surga bagi masyarakat dalam
mengakses layanan kesehatan, baik peserta PBI maupun non-PBI. Apabila aturan
tersebut diterapkan, tidak sepenuhnya sesuai harapan masyarakat.
Dalam
Model Grossman disebutkan akses kepada fasilitas kesehatan dan perilaku hidup
masyarakat memengaruhi tingkat kesehatan masyarakat. Dalam hal ini, akses
layanan kesehatan menjadi salah satu input yang ikut menentukan tingkat
kesehatan masyarakat. Adanya tambahan biaya dalam mengakses kesehatan menjadi
hal yang memberatkan, khususnya bagi kelas menengah.
Masyarakat
kelas menengah bisa dikatakan tidak tergolong dalam kelompok PBI tetapi juga
tidak dikatakan kelompok yang mampu secara finansial sepenuhnya. Kelompok PBI
sebanyak 92.4 juta jiwa (46,13% dari peserta BPJS Kesehatan) akan tetap
merasakan gratis pelayanan kesehatan yang mengacu pada Indonesia Case Base
Groups (InaCBG’s). Sebanyak 107,88 juta jiwa peserta JKN non-PBI akan dikenakan
urun biaya ketika mengakses layanan kesehatan.
Berdasarkan
data Agustus 2018, total peserta BPJSKesehatan 200,28 juta jiwa. Jika sebanyak
64,72 juta jiwa peserta non-PBI (32,31% dari total peserta BPJS Kesehatan)
dikategorikan kelas menengah, kelompok ini yang akan paling merasakan
dampaknya. Disisi lain, 21,54% (43,15 juta jiwa) dari total peserta bisa
dikatakan kelompok atas (kaya) dan tidak akan bermasalah dengan urun biaya atau
mereka memiliki asuransi lain.
Dengan
estimasi tersebut, masyarakat kelas menengah yang akan lebih rasional dalam
mengakses layanan kesehatan. Sayangnya, tidak ada data sebaran masyarakat yang
akan terdampak urun biaya yang dipublikasi oleh BPJS Kesehatan. Dampak dari
kebijakan urun biaya akan terasa cukup signifikan dalam menekan keinginan
masyarakat mengakses layanan kesehatan.
Pada
saat yang sama, pemangkasan manfaat pelayanan pun kian membatasi peserta
mendapatkan pelayanan kesehatan.
Berbeda
dengan urun biaya, pengenaan selisih biaya merupakan rencana yang bisa
dikatakan relatif lebih tepat. Namun, penerapannya perlu hati-hati. Pasalnya,
selisih biaya ini harus ditanggung masyarakat dari tarif yang ditetapkan
Ina-CBG’s pada kelas peserta terdaftar jika peserta tersebut naik kelas
pelayanan.
Namun
jika kebijakan ini diterapkan, apakah akan diberlakukan juga apabila rumah
sakit rujukan sudah penuh pada kelas perawatan dimana peserta BPJS Kesehatan
terdaftar, tetap dikenakan selisih biaya jika terpaksa harus naik kelas
pelayanan?
Pasien
di kota besar tidak terlalu bermasalah, karena pilihan rumah sakit cukup
banyak. Lain halnya di perdesaan atau yang layanan kesehatannya terbatas.
Pasien, khususnya non-PBI, tak punya pilihan karena harus naik kelas atau tidak
mendapatkan penanganan kesehatan di kelasnya terdaftar. Hal ini perlu
diantisipasi Kemenkes
Urun
biaya dan selisih biaya merupakan konsekuensi dari keengganan pemerintah dalam
menaikkan tarif iuran peserta BPJS Kesehatan. Disisi lain pemerintah masih
menahan alternatif pembiayaan dari pajak rokok dan atau mungkin dana abadi
kesehatan. Dana abadi kesehatan dapat diperoleh dari APBN, pajak rokok,
kendaraan, dan pajak makanan minuman yang ikut menyumbang penyakit tertentu
pada masyarakat.
Sekalipun
peserta JKN terpenuhi 100% belum menjamin bahwa defisit BPJS Kesehatan akan
hilang atau mengecil.
Selain
itu penekanan defisit yang terjadi masih bersifat eksternal, diluar dari
struktur organisasi yang ada. Jika defisit ini adalah masalah bersama,
seharusnya peningkatan efisiensi kegiatan operasional pun perlu dilakukan.
Beban
operasional BPJS Kesehatan 2017 tercatat Rp3,8 triliun. Perlu dilakukan
efisiensi agar beban bisa dikurangi hingga beberapa puluh persen, sehingga bisa
membantu menekan defisit.
BPJS
Kesehatan juga memiliki investasi lain. Pada dasarnya desain ini untuk
mengantisipasi adanya dana iuran besar yang mengendap. Saat defisit melanda
apakah tidak sebaiknya kegiatan investasi ditarik keluar dari BPJS Kesehatan.
Pertama,
menyebabkan bengkaknya biaya operasional, karena harus membayar unit investasi
dalam struktur lembaga di BPJS Kesehatan. Kedua, terjadi conflict of interest
dalam alokasi anggaran untuk pembayaran kewajiban atau beban investasi. Beban
investasi tercatat sebesar Rp28,21 miliar. Adapun pendapatan bruto investasi
Rp150,91 miliar pada 2017. Tentu nilai pendapatan investasi tersebut yang
terdiri dari bunga deposito, obligasi, dan keuntungan pelepasan investasi
merupakan akumulasi alokasi beban investasi pada tahun-tahun sebelumnya.
Tingginya
angka kunjungan masyarakat pada faskes tidak semata-mata terjadi dugaan
penyalahgunaan layanan kesehatan tetapi bisa jadi imbas dari rendahnya
kesadaran masyarakat dalam menjaga kesehatan. Ini pun kritik bagi program
Kemenkes seperti program promotif dan preventif.
Ketidakefektivan
program tersebut menyebabkan kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan
terbilang cukup rendah. Alhasil, ketika ada layanan kesehatan yang terjangkau,
tak heran masyarakat berbondong-bondong mengakses faskes.
Perbaikan perlu dilakukan secara menyeluruh. Permasalahan BPJS Kesehatan melibatkan banyak pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, faskes, dan BPJS Kesehatan sendiri. Penyelesaian masalah defisit BPJS Kesehatan harus dilakukan secara bersama-sama dengan keterlibatan aktif semua elemen.
Penerapan urun biaya dan selisih biaya bisa menjadi solusi jangka pendek apabila dilakukan hati-hati. Namun, saya yakin tidak akan bisa menutup defisit BPJS Kesehatan sepenuhnya.(Pernah dimuat di Bisnis Indonesia, 21 Februari 2019)