Sejak era kolonialisme sampai saat ini pendidikan di Indonesia selalu di identikkan dengan sekolah. Akhirnya pihak sekolahlah yang dianggap paling menentukan prestasi maupun perilaku anak didik. Padahal ada faktor lain yang juga mempengaruhi prestasi, perkembangan, dan perilaku anak didik yang dinamakan contextual factors (peranan luar sekolah). Keberhasilan sebuah pendidikan tidak terlepas dari dukungan luar sekolah. Bronfenbrenner (1979) memformulasikan ecological system theory, faktor yang mempengaruhi perkembangan anak, yang kini banyak diadopsi di duni pendidikan. Ada empat system atau faktor konteks yang mempengaruhi pendidikan anak di sekolah, utamanya dalam prestasi akademik dan well-being yaitu: microsystem meliputi keluarga dan teman, mesosyetem yakni hubungan antara guru dan orang tua, yang ke-tiga adalah exosystem yang meliputi lingkungan di mana anak – anak tinggal, status ekonomi orang tua dan komunitas, dan yang terakhir adalah macrosystem yang meliputi hukum, budaya, dan politik yang berlaku di masyarakat di mana siswa tersebut tinggal.
Schunk (2016) menyederhanakan faktor luar sekolah (contextual factors)
yang diformulasikan dari ecological system theory kedalam 5 kategori
yakni, lingkungan rumah, keterlibatan orang tua, keterlibatan media
(tekhnologi), keterlibatan komunitas, dan budaya. Melibatkan kelima kategori
tersebut dalam pendidikan khususnya di sekolah dasar, dan menengah dianggap
mampu meningkatkan prestasi akademik siswa, mengurangi kenakalan remaja, dan
mengurangi gap nilai antara siswa di daerah urban, dan rural di beberapa states
di Amerika Serikat (Bryan, 2005; Fan & Chen, 2001; Castro, 2015). Jika
ecological system tersebut dapat dikombinasikan dalam sistem pendidikan
dipercaya dapat menghasilkan output pendidikan yang lebih baik. Di Amerika
Serikat, Findlandia, dan beberapa negara yang dikenal dengan sistem pendidikan
yang baik konsisten melibatkan orang tua, komunitas dan faktor konteks lainnya
dalam sistem pendidikan mereka.
Membandingkan Indonesia dengan Amerika Serikat dalam hal prestasi
akademik siswa tentu akan berbeda. Prestasi akademik siswa di Amerika hanya
diukur berdasarkan nilai matematika, science, dan Bahasa yang diambil dari
nilai ujian siswa tiap tahun. Sedangkan di Indonesia terlalu banyak yang
menjadi tolak ukur, bukan hanya nilai kognitif, tapi mencakup juga psikomotorik,
dan affektif dengan setidaknya 9 – 12 mata pelajaran di sekolah umum, dan 14 –
20 mata pelajaran di Madrasah dan pondok pesantren. Keakuratan nilai kognitif
pun masih dipertanyakan karena faktor subjektivitas guru dalam memberikan nilai
dan terkadang indikator penilaian setiap sekolah berbeda – beda.
Dengan demikian penulis tidak akan mendefisikan prestasi akademik siswa di
Indonesia dengan nilai rapor atau nilai ijazah, tapi lebih ke output siswa
dalam bermasyarakat maupun prestasi yang diukir di luar sekolah. Apakah
kemudian ecology system theory atau keterlibatan lingkungan, keterlibatan orang
tua, komunitas, media dan budaya berpengaruh terhadap output siswa dalam
bermasyarakat, mengurangi kenakalan remaja, atau bahkan mampu lebih menciptakan
siswa yang kreatif dan innovative? Jawabanya bisa iya atau tidak, tergantung
cara sekolah melibatkan mereka. Hasil wawancara penulis dengan beberapa siswa
dan guru saat melakukan penelitian tentang hubungan keterlibatan orang tua dan
komunitas dengan prestasi akademik di enak sekolah di sul-sel, kebanyakan siswa
sepakat ketika orang tua mereka terlibat dalam pendidikan, prestasi mereka akan
meningkat. Dapat penulis simpulkan bahwa ada pengaruh yang cukup signifikan
ketika faktor konteks ikut berperan dalam pendidikan.
Bagaimana kemudian faktor konteks berperan di sekolah di Indonesia? hal
ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, apakah sekolah yang proaktif
melibatkan orang tua, dan komunitas ataukah pemerintah dalam hal ini kementrian
pendidikan yang menfasilitasi, atau bahkan secara sadar orang tua, komunitas
atau media yang melibatkan diri dalam pendidikan. Menurut hemat penulis, sebagai
langkah awal untuk kondisi saat ini sekolahlah yang seharusnya proaktif
melibatkan orang tua dan komunitas. Yang paling utama sekolah membangun kerja sama
dengan orang tua dalam pembinaan peserta didik.
The Australian Research Alliance for Children and Youth (2015)
membagi peranan orang tua dalam pendidikan anak, yakni orang tua sebagai
pembimbing anak di rumah (parent-led learning) dan orang tua menjadi
parner sekolah dalam pembinaan anak (parent-school partnership). Parent-led
learning bisa dilakukan dengan cara: membantu atau mengarahkan anak
mengerjakan pekerjaan rumah, membantu anak – anak dalam menentukan tujuan, memilih kursus atau
program, diskusi dengan anak tentang rencana kedepan termasuk dalam pemilihan
jurusan atau tempat kuliah, rutin berdiskusi dengan anak tentang masalah yang
menyangkut sekolah maupun luar sekolah, dan lain-lain. Untuk parent-school
partnership, seharusnya sekolah mengadakan workshop atau
memberikan informasi kepada orang tua tentang perkembangan anak, mensponsori
program kunjungan kerumah
siswa untuk membantu keluarga memahami sekolah, memberikan
informasi yang jelas tentang kurikulum, penilaian, dan tingkat pencapaian serta
kartu laporan, dan
lain – lain.
Untuk melibatkan komunitas, sekolah bisa mengundang perusahaan, BUMN,
Lembaga pemerintahan, maupun non – pemerintahan untuk mengadakan workshop di
sekolah, mengadakan pameran, dan terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler. Lembaga
atau perusahaan seharusnya juga memberikan dukungan dana kegiatan sekolah, dan after
school activity untuk membangun keterlibatan siswa dalam bermasyarakat.
Komunitas pecinta lingkungan, seni, olahraga dan yang lainya juga bisa berpartisipasi
dalam meningkatkan talenta, bakat – minat, kreativitas dan kepemimpinan siswa
di sekolah.
Di masa pandemi seperti sekarang ini hal tersebut sulit untuk
diterapkan. Akan tetapi bisa juga menjadi sebuah kesempatan yang besar untuk
guru dan orang tua untuk mulai membangun kolaborasi yang positif. Pendidikan
yang dulu hanya berfokus pada sekolah, sekarang ini bisa manjadi kesempatan
untuk mengembangkan kurikulum dan pembelajaran yang melibatkan orang tua dan
komunitas. Orang tua, saudara, teman dan orang-orang sekitar menjadi pendidik
sehingga kedepan sekolah bukanlah satu-satunya tempat yang dijadikan dan
diharapkan sebagai tempat belajar, dan berkreativitas.
References:
Bronfenbrenner, U. (1979). The ecology of human development: Experiment by nature and design.
MA: Harvard University Press.
Bryan, J. (2005). Fostering educational resilience and
achievement in urban school throught school – family – community . Sage
Publication. 8(3), 219 – 227.
Castro, Maria et al. (2015). Parental involvement
on student academic achievement: A meta-analysis. Elsevier. 14, 33 – 46. .
Fan, X., & Chen, M. (2001). Parental involvement and
students’ academic achievement: A meta-analysis. Educational Psychology
Review, 13(1), 1 – 23.
Schunk, D. H. (2016). Learning
theories: An educational perspective. Greensboro, The University of North Carolina: Pearson.
The Australian Research Alliance for Children
and Youth. (2015). Progressing Parental
Engagement in the ACT. Our Evidence Base. Measuring Parental Engagement.
Canberra, ACT.
Penulis: Samsu Alam, USAID- PRESTASI 3 Cohort 4, Educational Leadership- Washington State University.