Sebuah laporan memprihatinkan tentang
Jakarta diluncurkan oleh AirVisual baru-baru ini. Pada 25 Juni 2019, Jakarta duduk
sebagai ranking pertama dalam daftar kota dengan kualitas udara terburuk di
dunia versi lembaga pemantau polusi harian yang berbasis Swiss tersebut. Isu
mendesak yang mengiringi laporan ini adalah perlunya kepedulian dan tindakan
nyata dalam menyikapi degradasi lingkungan ibukota.
Mengapa kita harus prihatin? Menyandang predikat terburuk dengan sendirinya jelas sudah membunyikan alarm ketidakberesan. Tentang tata kelola kota—termasuk cara hidup kita sebagai warga kota. Kita bisa berkilah bahwa laporan AirVisual yang disajikan secara daring bersifat dinamis karena dapat berubah dari hari ke hari dan dari jam ke jam. Masalahnya, ini bukan kejadian pertama. Hampir setahun lalu, pada 25 Juli 2018 Jakarta juga meraih posisi puncak dalam daftar yang sama. Singkat kata, udara di Jakarta tidak membaik dalam kurun setahun terakhir.
Jejak konsistensi buruknya udara
Jakarta terekam dalam indeks kualitas udara atau AQI (Air Quality Index) pantauan AirVisual. Ketika memuncaki tabel kota
berpolusi terburuk pada akhir Juni lalu, nilai AQI Jakarta menyentuh angka 240.
Sedangkan ketika menjadi yang terburuk pada akhir Juli 2018, nilai AQI Jakarta
mencapai 183. Menurut standar yang digunakan AirVisual, nilai AQI 151-200
menunjukkan bahwa udara yang diukur tidak sehat, sementara nilai AQI 201-300
berarti udara sangat tidak sehat. Mengingat kadar mutu udara yang kita hirup di
Jakarta sudah melebihi ambang normal, sangatlah penting untuk memperdalam
literasi kita terhadap polusi udara.
Mengenal Polusi Udara
Polusi udara terbagi dari dua macam:
polusi di luar ruangan dan polusi di dalam ruangan. Keduanya sama-sama
berbahaya karena seringkali tidak terdeteksi oleh mata biasa. Untuk membatasi
konteks bahasan, tulisan ini lebih berfokus pada polusi udara di luar ruangan.
Secara garis besar, terdapat enam
substansi pencemar atau polutan di udara (EPA, 2017) yakni: (1) ozon permukaan
tanah, (2) partikel halus, (3) karbon monoksida, (4) sulfur dioksida, (5) nitrogen
dioksida, dan (6) timah hitam atau timbal.
Dalam hal pengukuran nilai kualitas
udara suatu kota, AQI dihitung berdasarkan konsentrasi keenam polutan tersebut
di udara. Khusus untuk partikel halus, satuan ukuran yang digunakan ialah PM10
dan PM2.5. PM10 adalah simbol untuk partikel halus yang
melayang-melayang di udara dengan diameter kurang dari 10 mikrometer. Sedangkan
PM2.5 berarti bahwa partikel tersebut berdiameter kurang dari 2,5
mikrometer, atau setara dengan seperdelapan diameter rambut manusia. PM10
umumnya adalah partikel-partikel yang terbawa oleh hembusan angin kencang.
Sementara PM2.5 terkandung dalam asap dan kabut. Dari sisi kesehatan,
partikel PM2.5 lebih berbahaya karena mampu masuk ke saluran
pernapasan tanpa dapat tersaring oleh hidung. Paparan terhadap polutan ini dalam
waktu lama dapat mengakibatkan menurunnya fungsi paru-paru, bronkitis akut dan
bahkan kematian dini. Bagi pengidap penyakit jantung, menghirup polutan ini,
meski hanya sebentar, dapat memicu serangan jantung. Oleh karenanya, seyogyanya
kita tidak meremehkan dampak negatif dari polusi udara.
Pemicu Penurunan Kualitas Udara
Penyebab menurunnya kualitas udara
suatu daerah atau kota meliputi bencana kebakaran, dampak pemanasan global,
serta peningkatan pola konsumsi manusia yang dipicu oleh ledakan penduduk dan,
ironisnya, menguatnya pertumbuhan ekonomi.
Terkait dengan dua penyebab
terakhir, secara ringkas dapat dijelaskan bahwa penyumbang terbesar efek rumah
kaca (green house gases) yang memicu
pemanasan global, terutama CO2, berasal dari pembakaran bahan bakar mobil,
pesawat, pembangkit listrik, serta hasil pembakaran lainnya dari sumber energi minyak
bumi dan gas. Penyumbang efek rumah kaca selanjutnya adalah gas metana yang
dirilis oleh penimbunan sampah, industri gas alam, kotoran ternak, dan senyawa klorofluorokarbon
(jamak dikenal dengan nama merk Freon).
Tidak sulit menarik benang merah
antara geliat ekonomi dan membengkaknya jumlah penduduk di Jakarta (baca:
bertambahnya jumlah kendaraan dan konsumsi energi lainnya) dengan memburuknya
kualitas udara kota. Fakta mencengangkan yang mendukung asumsi ini adalah
rata-rata pertambahan jumlah kendaraan di Jakarta mencapai 5% per tahun sepanjang
2012-2016 (BPS Provinsi DKI Jakarta, 2017). Angka ini jelas luar biasa menilik
jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di Jakarta pada tahun 2016 tercatat
sudah mencapai 18.006.404 buah (BPS Provinsi DKI Jakarta, 2017). Pertumbuhan
ini tidak menunjukkan angka penurunan, seperti yang diungkapkan Dinas
Perhubungan DKI Jakarta pada September 2018 bahwa setiap hari muncul 1.500
kendaraan baru di Jakarta (Kompas, 2018).
Dampak Polusi Udara
Seberapa berbahaya tingkat polusi
udara yang melampaui ambang normal? Merujuk pada data badan kesehatan dunia
WHO, pada tahun 2016 satu dari sembilan total kematian di seluruh dunia dipicu
oleh paparan terhadap pencemaran udara. WHO juga menyatakan bahwa rata-rata
tiga juta orang mati setiap tahun karena gangguan kesehatan akibat polusi
udara. Sebanyak 94% dari gangguan kesehatan mematikan tersebut meliputi
penyakit jantung, stroke, penyakit pernapasan—asma dan infeksi saluran
pernapasan akut adalah yang paling umum—serta kanker paru-paru.
Golongan yang paling rentan
terhadap dampak negatif polusi udara adalah perempuan, anak-anak dan para
manula. Masing-masing masuk dalam kategori rentan karena alasan yang
berbeda-beda. Sebagai contoh, wanita memproses polutan lebih cepat dari
laki-laki sehingga memiliki risiko keracunan lebih tinggi (Butter, 2006). Anak-anak dianggap paling terancam terhadap
bahaya polusi udara karena pelbagai alasan. Dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak
menghabiskan lebih banyak waktu bermain di luar ruangan sehingga lebih berisiko
terpapar udara yang tercemar. Tinggi badan yang lebih pendek juga menjadikan
mereka lebih dekat pada knalpot kendaraan. Selain itu, anak-anak juga bernapas
lebih cepat, sedangkan kapasitas paru-paru mereka lebih kecil, sehingga secara
agregat mereka akan menghirup polutan lebih banyak. Sementara kerentanan pada
manula lebih disebabkan oleh menurunnya sistem kekebalan tubuh mereka.
Lebih lanjut WHO mengungkapkan
bahwa pada tahun 2016, sebanyak 90% dari total 4,2 juta kasus kematian dini
akibat polusi udara terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.
Dua pertiga diantaranya terjadi di belahan Asia Tenggara dan pesisir barat
Pasifik. Ditilik dari kacamata posisi ekonomi dan geografis ini—diperparah
dengan kondisi terkini hasil pantauan AirVisual—terbaca jelas bahwa warga Jakarta
memiliki risiko tinggi terpapar dampak negatif pencemaran udara.
Teladan Upaya-upaya Pengurangan Polusi
Salah satu tujuan pembangunan
berkelanjutan global (SDGs) pada tahun 2030 adalah menurunkan angka kematian
dini dari dampak pencemaran udara di dunia. Karenanya, beberapa kota terutama
di negara-negara maju saat ini sudah tergugah untuk mulai berjibaku dengan isu
polusi udara. Oslo misalnya, telah melarang penggunaan mobil di pusat
kota—kecuali untuk keperluan darurat seperti ambulans—dan mengalihfungsikan 650
lahan parkir menjadi taman, jalur sepeda dan pejalan kaki.
Contoh lainnya ialah Kota Brussels
yang mengeluarkan aturan bahwa dalam kondisi darurat, jika dalam dua hari
berturut-turut kualitas udara kota melampaui ambang batas normal, pemerintah
kota akan meng-gratis-kan semua angkutan publik. Tujuannya supaya warga kota
meninggalkan mobil pribadinya, minimal sehari, dan beralih ke transportasi
umum. Sekalipun hingga saat ini praktik tersebut belum dijalankan—bahkan
diwarnai kritikan menyangkut akuntabilitas program—namun upaya tersebut dapat
menjadi preseden kebijakan publik dalam memperbaiki kualitas udara Jakarta.
Yang juga patut diperhatikan, belum
lama ini sekelompok ilmuwan di Universitas Latvia merilis penelitian tentang
moda transportasi bebas karbon. Para peneliti lintas bidang ini merancang suatu
skenario bahwa tidak lama lagi ibukota Latvia, Riga, akan memanfaatkan bus dan
mobil berbahan listrik dan hidrogen ramah lingkungan sebagai pengusung
transportasi massal (Kleperis et.al, 2016). Muaranya jelas untuk meminimalkan
emisi karbon dan memurnikan kembali udara kota.
Rekomendasi
Inti dari upaya untuk mengurangi
polusi udara adalah dengan membatasi emisi karbon ke udara secara berjamaah.
Upaya tersebut dapat dimulai dari partisipasi masing-masing warga kota serta
secara simultan didukung oleh regulasi yang tegas dari pemerintah. Setidaknya
terdapat tujuh solusi yang bisa ditempuh dari tingkat individu hingga otoritas
publik untuk mengurangi pencemaran udara Jakarta. Pertama, memassalkan penggunaan transportasi publik. Dengan
mengambil perbandingan satu bus setara dengan 40 mobil dalam hal mengangkut
penumpang, sangat rasional jika kita mengedepankan penggunaan transportasi publik.
Ibarat sekali tepuk dua lalat: kemacetan berkurang dan polusi udara menurun. Ragam
pilihan transportasi massal di Jakarta—seperti MRT, KRL, TransJakarta cukup
memadai untuk merangkul gagasan ini. Tantangan terbesarnya barangkali adalah
perbaikan infrastruktur dan kualitas layanan.
Kedua, menghemat energi. Sebagai contoh,
matikan lampu ketika tidak digunakan. Ini langkah yang mudah dan murah. Apa
kontribusinya terhadap pengurangan polusi udara? Mematikan lampu atau televisi ternyata mampu
mengurangi 60% emisi karbon dioksida dibanding ketika alat-alat tersebut dinyalakan
(Imperial College London News, 2010). Kebiasaan baik selanjutnya
termasuk mematikan laptop yang sedang tidak dipakai selama sejam atau lebih,
atau mematikan layarnya jika laptop tidak aktif selama 15 menit atau lebih.
Ketiga, membudayakan jalan kaki dan
bersepeda. Rekomendasi ini barangkali masih sulit dilakukan di Jakarta.
Pasalnya jalur khusus sepeda belum disediakan. Faktor keselamatan dan iklim
panas serta lembab juga bisa menjadi alasan keengganan lainnya. Namun, para
ahli telah bersepakat bahwa jalan kaki dan bersepeda adalah cara terbaik untuk
mengurangi pencemaran udara. Maka, jika kita betul-betul berniat mengurangi
polusi udara, budaya ini layak dikembangkan seberat apapun tantangannya.
Keempat, melarang pembakaran sampah rumah
tangga. Membakar sampah sekilas tampak seperti cara yang murah dan lebih
gampang daripada harus memilah dan mendaur ulang sampah rumah tangga. Namun,
sampah yang dibakar terutama plastik tidak akan hilang begitu saja jejaknya dan
justru meracuni udara dengan lebih banyak karbon dioksida, merkuri, serta
senyawa berbahaya lain seperti dioksin dan furan. Akan lebih bermanfaat bagi
lingkungan jika kita memahami dan menerapkan konsep 3R (reduce, reuse and recycle), serta mengoptimalkan jasa pengelolaan
sampah kota.
Kelima, menghijaukan kota. Kampanye
penghijauan kota saat ini gencar dilakukan di banyak kota di dunia, terutama
disponsori oleh para arsitek dan perancang kota. Kampanye serupa mendesak untuk
dilakukan mengingat luas ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta baru sebesar
9,98% dari target RTH ideal 30% dari total luas wilayah kota (Joga, 2018).
Dahaga Jakarta terhadap kebutuhan RTH bisa dijawab dengan pelbagai varian penghijauan
kota yang meliputi penerapan green oasis,
urban canopy, vertical forests, dan green
walls. Konsep-konsep tersebut dapat diterapkan mulai dari desain rumah
tinggal, perkantoran hingga taman kota. Kerjasama antara pemerintah dan swasta
dengan arsitek dan perancang kota pro-lingkungan dalam desain tata kota dan
proyek pemerintah sangat penting dalam menyokong upaya-upaya perbaikan kualitas
udara Jakarta.
Keenam, mengarusutamakan sumber energi
alternatif terbarukan. Sumber energi terbarukan seperti angin, surya, biomassa,
panas bumi, dan lainnya adalah sumber energi masa depan. Penggunaannya yang
masif jelas akan menurunkan jejak karbon yang ditinggalkan sumber energi
konvensional seperti batubara, minyak bumi dan gas. Mobil listrik, listrik
rumahan tenaga surya adalah secuil contoh yang dapat diterapkan di perkotaan.
Hanya, memasifkan penggunaan sumber energi bersih ini jelas akan menghadapi
tantangan berat, terutama dari industri yang dirugikan oleh konversi energi
fosil ke energi terbarukan. Dalam hal ini, kemauan politik dari pemerintah
memegang peranan krusial.
Ketujuh, menghentikan pembangunan jalan
baru. Gagasan ini terbilang kontroversial, namun barangkali benar. Litman (2019)
berargumen bahwa pembangunan ruas jalan baru, yang bertujuan untuk mengurai
kemacetan, justru pada akhirnya akan memperburuk kualitas udara suatu kota. Tidak
sulit membayangkan bahwa keberadaan jalan-jalan baru tidak berkontribusi pada
menurunnya jumlah kendaraan—justru sebaliknya, tersedia jalur anyar yang lebih
lega dan bebas macet untuk mobil-mobil baru. Terkait dengan pengendalian polusi
udara, poin utamanya adalah bukan perkara jumlah jalan yang menjadi solusi,
namun pilihan moda transportasilah yang memegang kunci.
Kesimpulan
Dua langkah besar dalam mengurangi polusi udara yakni pertama, mengurangi secara massif emisi polutan primer. Kedua, yang tidak kalah penting ialah penerapan kebijakan publik yang tepat tentang penanganan pencemaran udara. Benar bahwa perubahan bisa dimulai dari individu: perbaikan tingkah laku diri sendiri merupakan langkah positif pertama. Namun selanjutnya, untuk mengerdilkan tingkat polusi udara dalam skala seluas ibukota, mustahil jika tanpa melibatkan otoritas publik, dalam hal ini pemerintah.
Mengingat rentang waktu menuju
tahun 2030 tidaklah begitu jauh, masihkah penanganan polusi udara di Jakarta
tetap menjadi urusan pinggiran?
Penulis: Nugrohojati – Anggota Asosiasi Alumni Program Beasiswa Amerika-Indonesia dan Pemerhati Masalah Pengurangan Resiko Bencana